Pertanyaan
Assalamualaikum ustadz, apakah seorang istri boleh berangkat haji/umroh sendirian tanpa suami/mahram? Suami belum tergerak hati untuk mendaftar haji, sedangkan usia dan daftar tunggu kuota haji menuntut untuk mendaftar secepatnya.
Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Masing-masing mereka memiliki dalil untuk menguatkan pendapatnya.
Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَغْزُو وَنُجَاهِدُ مَعَكُمْ فَقَالَ لَكِنَّ أَحْسَنَ الْجِهَادِ وَأَجْمَلَهُ الْحَجُّ حَجٌّ مَبْرُورٌ فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَلَا أَدَعُ الْحَجَّ بَعْدَ إِذْ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Wahai Rasulullah, boleh kami berperang dan berjihad bersamamu? Nabi bersabda: “Jihad terbaik dan terindah adalah haji yang mabrur.” Lalu ‘Aisyah berkata: “Maka aku tidak pernah meninggalkan haji setelah aku mendengarkan perkataan ini dari Rasulullah ﷺ .”. [1]
Hadits ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha tidak pernah meninggalkan haji sepanjang hayatnya, artinya walau sesudah Nabi ﷺ wafat.
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan:
واستدل بحديث عائشة هذا على جواز حج المرأة مع من تثق به ولو لم يكن زوجا ولا محرما
Hadits ‘Aisyah ini menjadi dalil bolehnya haji seorang wanita bersama orang-orang terpercaya walau pun tidak bersama suaminya dan tanpa mahramnya. [2]
Imam Ash Shan’aniy Rahimahullah berkata:
ونقل قولاً عن الشافعي أنها تسافر وحدها إذا كان الطريق آمناً
Dikutip perkataan dari Imam Asy Syafi’i bahwa seorang wanita boleh safar seorang diri (untuk haji) jika kondisi jalan aman. [3]
Hadits ini juga di komentara Imam Ibnu Baththal Rahimahullah sebagai berikut:
هذه الحال ترفع تحريج الرسول ( صلى الله عليه وسلم ) عن النساء المسافرات بغير ذى محرم ، كذلك قال مالك والأوزاعى والشافعى : تخرج المرأة فى حجة الفريضة مع جماعة النساء فى رفقة مأمونة وإن لم يكن معها محرم ، وجمهور العلماء على جواز ذلك ، وكان ابن عمر يحج معه نسوة من جيرانه ، وهو قول عطاء وسعيد بن جبير وابن سيرين والحسن
Keadaan ini menghilangkan larangan Rasulullah ﷺ bagi wanita yang safar tanpa mahram, demikian juga perkataan Malik, Al Auza’i, Asy Syafi’i: “Keluarnya wanita pergi haji yang wajib bersama jamaah wanita yang terpercaya, walau tidak ada mahram bersamanya. MAYORITAS ULAMA MEMBOLEHKAN ITU. Dahulu Ibnu Umar haji bersama wanita tetangganya. Ini merupakan pendapat ‘Atha, Sa’id bin Jubeir, Ibnu Sirin, dan Al Hasan Al Basri. [4]
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
وقال عطاء وسعيد بن جبير وبن سيرين ومالك والأوزاعي والشافعي في المشهور عنه لا يشترط المحرم بل يشترط الأمن على نفسها قال أصحابنا يحصل الأمن بزوج أو محرم أو نسوة ثقات ولا يلزمها الحج عندنا الا بأحد هذه الأشياء فلو وجدت امرأة واحدة ثقة لم يلزمها لكن يجوز لها الحج معها هذا هو الصحيح
Dan berkata ‘Atha, Said bin Jubeir, Ibnu Sirin, Malik, Al Auza’i, Asy Syafi’i, dan yang masyhur darinya bahwa adanya mahram bukan syarat, tetapi yang menjadi syarat adalah adanya rasa aman bagi dirinya. Para sahabat kami (Syafi’iyah) mengatakan bahwa rasa aman itu bisa diperoleh dengan suami atau mahram atau wanita-wanita terpercaya, bagi kami kaum wanita tidaklah wajib baginya kecuali satu di antara hal-hal ini, seandainya dia dapatkan satu orang wanita terpercaya maka boleh baginya haji bersamanya. DAN INILAH YANG BENAR.[5]
Sederetan para Imam Salaf pun membolehkan, berikut ini keterangan Imam Ibnu Muflih Rahimahullah:
ونقل الأثرم: لا يشترط المحرم في الحج الواجب, قال أحمد: لأنها تخرج مع النساء ومع كل من أمنته.
وقال ابن سيرين: مع مسلم لا بأس به. وقال الأوزاعي: مع قوم عدول. وقال مالك: مع جماعة من النساء. وقال الشافعي: مع حرة مسلمة ثقة. وقال بعض أصحابه: وحدها مع الأمن, والصحيح عندهم يلزمها مع نسوة ثقات, ويجوز لها مع واحدة
Al Atsram mengutip (pendapat Imam Ahmad): “Adanya mahram tidaklah menjadi syarat dalam haji wajib bagi wanita.” Imam Ahmad berkata: “Karena wanita itu keluar dengan kaum wanita dan dengan manusia yang dia sendiri merasa aman di tengah-tengah mereka.”
Imam Muhammad bin Sirin mengatakan: “Bahkan dengan seorang muslim pun tidak apa-apa.” Imam Al Auza’iy mengatakan: “Bisa dilakukan dengan kaum yang adil dan terpercaya.” Imam Malik mengatakan: “Boleh dilakukan dengan sekelompok wanita.” Imam Asy Syafi’i
mengatakan: “Bisa dilakukan dengan seorang wanita merdeka yang terpercaya.” Sebagian sahabatnya (Asy Syafi’iyah) berkata, hal itu dibolehkan dilakukan sendirian selama dia merasa aman. Dan, yang benar menurut mereka dia mesti bersama kaum wanita yang terpercaya, dan boleh baginya bersama seorang wanita. [6]
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata -sebagaimana dikutip oleh Imam Ash Shan’aniy Rahimahullah:
إنه يصح الحج من المرأة بغير محرم ومن غير المستطيع
Bahwa Sah hajinya seorang wanita yang pergi tanpa mahram dan hajinya orang yang tidak mampu. [7]
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengutip perkataan Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:
وإنما اختلفوا فيما كان واجبا واستنبط منه بن حزم جواز سفر المرأة بغير زوج ولا محرم لكونه صلى الله عليه و سلم لم يأمر بردها ولا عاب سفرها
Para ulama berselisih pendapat tentang safarnya wanita dalam ibadah yang wajib. Imam Ibnu Hazm berpendapat bolehnya safar seorang wanita tanpa suaminya atau tanpa mahramnya sebab kenyataannya Nabi ﷺ tidak memerintahkan wanita itu untuk kembali dan tidak mencela safarnya. [8]
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah juga menceritakan dalil lain kebolehannya:
ومن الأدلة على جواز سفر المرأة مع النسوة الثقات إذا أمن الطريق أول أحاديث الباب لاتفاق عمر وعثمان وعبد الرحمن بن عوف ونساء النبي صلى الله عليه و سلم على ذلك وعدم نكير غيرهم من الصحابة عليهن في ذلك
Dan diantara dalil kebolehan safarnya wanita bersama wanita-wanita terpercaya pada kondisi jalan aman adalah, pertama, hadits-hadits dalam bab ini telah disepakati oleh Umar, ‘Utsman, dan Abdurrahman bin ‘Auf dan para istri Nabi ﷺ dan tidak ada pengingkaran dari sahabat nabi yang lain, atas bepergiannya istri-istri nabi dalam hal ini.[9]
Lalu bagaimana dengan hadits : “Janganlah seorang wanita pergi kecuali dengan mahramnya” (HR. Bukhari – Muslim. Lu’ Lu’ wal Marjan No. 850) ?
Hadits ini sering dijadikan dalil pihak yang mengharamkan wanita berpergian jauh sehari semalam tanpa ditemani mahramnya, baik pada perjalanan wajib, seperti haji, umrah, atau perjalanan mubah. Sebab, bagi mereka larangan ini adalah berlaku untuk semua safar. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur. [10] Pendapat ini juga didukung oleh para ulama Arab Saudi dan para pengikutnya, termasuk di Indonesia.
Namun, pihak yang membolehan telah memberikan koreksi sebagai berikut:
وحمله مالك وجمهور الفقهاء على الخصوص ، وأن المراد بالنهى الأسفار غير الواجبة عليها بعموم قوله تعالى : ( وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ ) [ آل عمران : 97 ] فدخلت المرأة فى عموم هذا الخطاب ولزمها فرض الحج ، ولا يجوز أن تُمنع المرأة من الفروض كما لا تمنع من الصلاة والصيام ؛ ألا ترى أن عليها أن تهاجر من دار الكفر إلى دار الإسلام إذا أسلمت فيه بعير محرم ، وكذلك كل واجبٍ عليها أن تخرج فيه ، فثبت بهذا أن نهيه عليه السلام أن تسافر المرأة مع غير ذى محرم أنه أراد بذلك سفرًا غير واجب عليها ، والله أعلم
Imam Malik dan MAYORITAS ULAMA mengartikannya secara khusus (bukan untuk semua safar), maksud larangan tersebut adalah untuk safar-safar yang TIDAK WAJIB, berdasarkan keumuman firman Allah ﷻ : mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah (QS. Ali Imran: 97), dan kaum wanita termasuk pada keumuman pembicaraan ayat ini dan kewajiban haji. Dan, TIDAK BOLEH MELARANG WANITA dari kewajiban-kewajiban, sebagaimana tidak boleh melarang mereka dari shalat dan puasa. Tidakkah Anda melihat, bahwa wanita diwajibkan berhijrah dari negeri kafir ke negeri Islam, jika di negeri kafir dia tidak memiliki mahram? Maka, demikian juga semua kewajiban yang mengharuskannya dia keluar dari negerinya. Maka, dengan ini telah pasti bahwa larangan Nabi ﷻ tentang safarnya kaum wanita tanpa mahram adalah pada perjalanan yang tidak wajib baginya. Wallahu A’lam. [11]
Bahkan Dalam Perjalanan Yang Tidak Wajib
Imam Ibnu Muflih Rahimahullah menyebutkan bahwa kebolehan ini bukan hanya untuk perjalanan wajib, menurut sebagian ulama juga boleh untuk perjalanan sunnah atau keperluan yang baik-baik. Berikut ini perkataannya:
ونقله الكرابيسي عن الشافعي في حجة التطوع, وقاله بعض أصحابه فيه وفي كل سفر غير واجب, كزيارة وتجارة
Al Karabisi menukil bahwa Imam Asy Syafi’iy membolehkan pula dalam haji tathawwu’ (sunah). Sebagian sahabatnya berkata bahwa hal ini juga dibolehkan dilakukan dalam haji tathawwu’ dan SEMUA JENIS PERJALANAN TIDAK WAJIB seperti ziarah dan berdagang.[12]
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:
وفي قول نقله الكرابيسي وصححه في المهذب تسافر وحدها إذا كان الطريق امنا وهذا كله في الواجب من حج أو عمرة وأغرب القفال فطرده في الأسفار كلها
Dalam kutipan Al Karabisi disebutkan –dan dishahihkan dalam Al Muhadzdzab- bahwa perjalanan sendirian seorang wanita bisa dilakukan selama jalan yang akan ditempuhnya dalam kondisi aman. Jika perjalanan ini diterapkan dalam perjalanan wajib seperti haji atau umrah, maka sudah sewajarnya jika hal itu pun diterapkan pada SEMUA JENIS PERJALANAN .[13]
Maksud dishahihkan dalam Al Muhadzdzab adalah pengarang Al Muhadzdab yaitu Imam Abu Ishaq Asy Syirazi Rahimahullah membenarkan pendapat bahwa kebolehan itu berlaku atas semua perjalanan yang baik.
Sebab, maksud ditemaninya wanita oleh mahram atau suaminya adalah dalam rangka menjaganya. Dan ini semua sudah terealisir dengan amannya jalan atau adanya orang-orang terpercaya yang menemaninya baik dari kalangan wanita atau laki-laki, dan dalil-dalil sudah menunjukkan hal itu.
Ketahuilah, masalah bepergian adalah perkara duniawi, yang larangannya bisa diketahui karena adanya ‘illat (sebab) dan maksud. Dalam konteks ini, ‘illatnya adalah karena faktor bahaya. Ketika ‘illat itu tidak ada maka larangan itu pun teranulir. Berbeda dengan masalah ibadah khusus (ta’abudiyah), yang dalam menjalankannya seorang muslim harus tunduk tanpa melihat pada sebab atau maksudnya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy Syathibi. Pendapat yang membolehkan ini yang kami ikuti, namun tidaklah mengingkari pihak yang melarangnya.
Namun demikian, bagaimana pun juga perjalanan wanita dengan mahram atau suaminya tentu lebih baik, lebih menenangkan dan menentramkan hati, selain itu untuk keluar dari perselisihan pendapat di antara ulama. Maka, tidak dibenarkan bagi siapa pun bersikap keras dalam mengingkari perbedaan pendapat dalam tema ini.
Demikian. Wallahu A’lam.
[1] HR. Al Bukhari No. 1728
[2] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/75
[3] Imam Ash Shan’aniy, Subulus Salam, 2/183
[4] Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 4/532
[5] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/104
[6] Imam Ibnu Muflih, Al Furu’, 5/243
[7] Imam Ash Shan’aniy, Subulus Salam, 2/184
[8] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/78
[9] Ibid, 4/76
[10] Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 4/532
[11] Ibid, 4/532-533
[12] Imam Ibnu Muflih, Al Furu’, 5/245
[13] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/76