Tanya Jawab Ringkas “Fiqih Seputar Corona”

Pertanyaan  

Tanya Jawab Ringkas “Fiqih Seputar Corona”

Jawaban
Ustadz Farid Nu'man, SS

(Dikumpulkan dari beberapa grup tanya jawab)

1. Apakah kondisi saat ini sudah layak Qunut Nazilah

Jawab:

Menurut Syafi’iyyah dan sebagian Malikiyah, Qunut nazilah itu dilaksanakan jika kaum muslimin mendapatkan musibah berupa; wabah penyakit, kekeringan, hujan besar yang membawa malapetaka, kondisi ketakutan oleh musuh, dan tertawannya. para ulama. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 66/34)

Ini juga pendapat Hanafiyah, sedangkan bagi Hambaliyah, Musibah yang layak dilakukan Qunut Nazilah adalah hanya krn bencana terbunuhnya kaum muslimin. Sebab inilah yang ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Bagi mereka tidak disyariatkan adanya qunut nazilah karena wabah tha’un. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 3038)

Dengan kata lain, mayoritas ulama mengatakan disyariatkannya qunut nazilah di saat musibah wabah penyakit atas kaum muslimin.

Wallahu A’lam

2. Qunut nazilah apakah di semua shalat?

Jawab:

Ya, begitulah sunnahnya, sebagaimana hadits Abu Daud dari Ibnu Abbas dgn sanad hasan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam qunut nazilah di subuh, zuhur, ashar, maghrib, dan isya, di rakaat terakhir, selama satu bulan. Disebabkan terbunuhnya 70 sahabatnya yang ahli Al Quran. Inilah pendapat Syafi’iyyah, juga Hambaliyah, hanya saja Hambaliyah mengatakan tidak boleh qunut nazilah pada Shalat Jumat.

Hanafiyah mengatakan hanya pada shalat-shalat jahriyah.

Malikiyah mengatakan hanya pada shalat subuh, selainnya tidak disyariatkan qunut nazilah, tapi jika dilakukan juga shalatnya tetap sah.

Demikian. Wallahu A’lam

3. Qunut Nazilah katanya hak Ulil Amri disebuah negeri, jika tidak ada anjuran dari Ulil Amri maka tidak boleh.

Jawab:

Itu adalah pendapat Hambaliyah, yaitu qunut nazilah mesti atas instruksi Imamul A’zham (khalifah). Bukan inisiatif masing-masing pihak, ulama, atau pribadi. Artinya jika pemimpin tidak ada instruksi atau tidak ada izin, maka tidak boleh. Hal ini juga difatwakan oleh ulama Hambaliyah zaman ini yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin. (Liqo Bab al Maftuh, 17/226)

Tapi umumnya ulama mengatakan boleh tanpa harus instruksi atau izin pemimpin. Sebab tidak ada dalilnya pengkhususan bahwa ini spesial perintah atau harus seizin pemimpin. Bahkan dalam Shahihain, Abu Hurairah pernah berqunut diwaktu zuhur, Isya, dan subuh. Dan Abu Hurairah bukanlah seorang Khalifah. Berdoa adalah ibadah, dan tidak dibenarkan memberikan syarat pada ibadah tanpa dasar. Apalagi berdoa untuk melawan kezaliman, tidak dibenarkan pemerintah melarang doa orang yang yang sedang dizalimi.

Wallahu A’lam

4. Tidak shalat berjamaah dan Jumat ke masjid karena takut penyakit yg sedang mewabah

Jawab:

Jika memang keadaannya sudah seperti itu. Maka rasa takut thdp tertularnya penyakit adalah salah satu uzur boleh tidak shalat berjamaah, juga shalat jumat. (Lihat Imam Al Buhuti, dalam Raudhul Murbi’, Hal. 139-140. Juga Imam Al Mardawi, dalam Al Inshaf, 2/300)

Sementara, Imam Abu Bakar Syatha mengatakan uzur yg membuat boleh tidak datang shalat Jumat itu sama seperti uzurnya shalat Jamaah. (I’anatuth Thalibin, 2/52)

Ini bukan karena meremehkan shalat berjamaah tapi ini menyelamatkan nyawa seorang muslim. Bahkan dalam rangka itu, Imam Zakariya al Anshari mengatakan bahwa para fuqaha melarang orang yang kena kusta dan lepra untuk berjamaah di masjid dan berkumpul dgn manusia. (Asnal Mathalib, 1/215)

Bagi yang justru heran dengan pendapat ini, berarti mereka tidak paham tabi’at agama ini dalam melindungi umatnya.

Tapi, bagi daerah yang situasinya masih bs dikendalikan, tentu belum tepat memfatwakan tinggalkan shalat Jumat dan berjamaah sementara waktu. Lebih tepat adalah tetap berjamaah dan shalat Jumat, tetap waspada, hati-hati, dan tawakkal kepada Allah Ta’ala.

Demikian. Wallahu a’lam

5. Ada video dari luar negeri, shalat berjamaah mereka sangat renggang shafnya, sampai berjauhan satu meter lebih antara mereka. Apakah ini dibenarkan?

Jawab:

Imam Badruddin al Aini dalam ‘Umdatul Qari, (8/455), menyatakan bahwa merapatkan shaf menurut mayoritas ulama adalah sunnah, kecuali Hambaliyah yg mengatakan wajib, juga Imam Bukhari.

Sementara Imam an Nawawi mengatakan ijma’, bahwa merapatkan shaf itu sunnah. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/384)

Sehingga jika barisan renggang, shalatnya tetap sah, tapi mrka meninggalkan sunnah. Sehingga hilang kesempurnaan shalat. Ini jika dalam keadaan normal.

Tapi, jika dalam keadaan seperti saat ini, dimana berdekatan dapat menjadi sebab tertular penyakit, dan saat ini corona terbukti sangat cepat penularannya, maka merenggang adalah hal yg tidak apa-apa.

Sebagaimana kaidah:

الضرر يزال

Bahaya itu mesti dihilangkan

Bahkan apa yang mereka lakukan masih lebih baik dibanding mengosongkan masjid dari shalat berjamaah.

Demikian. Wallahu A’lam

Konsultasi Terkait