Pertanyaan
Assalamualaikum ustadzah, apakah ada hukum untuk suami yang sudah wafat dan meninggalkan utang yang belum lunas?
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Berutang memang penuh risiko, baik risiko yang akan ditanggung oleh yang bersangkutan atau bahkan keluarganya. Persoalan ini memang kerap memunculkan pertanyaan yang cukup membingungkan sebagian kalangan. Bila suami meninggalkan utang, apakah istri wajib membayarnya?
Berdasarkan fatwa yang pernah dikeluarkan Lembaga Fatwa (Dar al-lfta) Mesir, istri tidak memiliki kewajiban apapun menanggung dan memenuhi utang (almarhum) suaminya. Tanggungan itu tidak serta-merta berpindah ke ahli waris. Apalagi dalam hal hutang yang ditinggalkan oleh suami yang pergi meninggalkan istrinya dan tidak bertanggung jawab. Seorang istri tidak memiliki kewajiban membayarkannya. Kecuali, jika memang anda, para istri, merelakan harta untuk dialokasikan menutup hutang suami. Ini merupakan bentuk tolong-menolong dalam kewajiban. Ketentuan serupa juga berlaku dalam kasus yang berutang (dan meninggal) adalah pihak istri. Suami yang ditinggalkan tidak secara otomatis menanggung beban tersebut.
Lalu muncul pertanyaan, bolehkah istri mengalokasikan zakat ataupun sedekahnya untuk membayar utang suami. Para ulama berbeda pendapat. Menurut kelompok yang pertama, zakat mal tersebut tidak boleh diperuntukkan membayar utang (almarhum) suami tersebut. Opsi ini adalah pilihan sejumlah mazhab, yakni Hanafi, salah satu Riwayat di Mazhab Syafii dan Hanbali. Dalam pandangan kalangan kedua, pengalokasian dana zakat untuk suami yang dililit utang diperbolehkan. Ini dengan catatan, selama kriteria seorang yang bangkrut akibat utang (yakni gharim) terpenuhi. Pandangan ini diyakini oleh Mazhab Maliki, Syafii, dan Hanbali di salah satu riwayat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهل
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku”. (HR at-Tirmidzi dan lbnu Majah Dishahihkan Syaikh al-Albani dalam ash- Shahihah, no. 285}.
Hadits di atas dapat menjadi barometer untuk mengetahui kepribadian asal seseorang. Hendaklah manusia itu bersikap mulia dan berlaku jujur, khususnya suami (atau ayah). Karena ia memegang kendali rumah tangga. Sehingga seorang suami, semestinya melakukan mu amalah dengan cara yang baik terhadap keluarganya. Bukan malah meninggalkan dan membebani keluarga/istrinya dengan hutang. Bila hutang tak terbayar, kewajiban utang itu bukan menjadi tanggungan istri, akan tetapi menjadi tanggungan suami yang pasti akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan-Nya. Wallaahu alam.