Narasumber Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.
(Konsultan Ahli Syariah Consulting Center (SCC)
Assalamu’alaikum wr. wb
Apa hukumnya setelah azan menjelang iqomah, menyanyi religi, atau sholawatan.?
Terima kasih
Jawaban
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Bismillahirrahmanirrahim..
Bershalawat setelah azan pada dasarnya disunnahkan, sebagaimana hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَّفَاعَةُ
Dari Abdullah bin Amru bin Al-‘Ash, bahwasanya dia pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda, “Apabila kalian mendengar muadzin mengumandangkan azan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya kemudian bacalah shalawat untukku, karena sesungguhnya orang yang membaca shalawat sekali untukku, maka Allah akan menganugerahkan sepuluh shalawat (rahmat) kepadanya, lalu mohonlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla Washilah (kedudukan yang tinggi) untukku. Karena washilah itu suatu kedudukan yang tinggi dalam surga, yang tidak pantas kecuali bagi seseorang di antara hamba hamba Allah Ta’ala, dan saya berharap semoga sayalah yang akan menempatinya. Barang siapa yang memohonkan wasilah kepada Allah untukku, niscaya dia akan mendapat syafaat.” (HR. Abu Daud no. 523, shahih)
Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang apakah dibolehkan mengeraskan suara. Perdebatan ini sama dengan berdoa dan berdzikir dengan mengeraskan suara, sebab shalawat adalah bagian darinya.
Pihak Yang Melarang
Kelompok ini memiliki sejumlah alasan, misalnya ayat:
{ ٱدۡعُواْ رَبَّكُمۡ تَضَرُّعٗا وَخُفۡيَةًۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ }
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. [QS. Al-A’raf: 55]
Ayat lainnya:
وَٱذۡكُر رَّبَّكَ فِي نَفۡسِكَ تَضَرُّعٗا وَخِيفَةٗ وَدُونَ ٱلۡجَهۡرِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ بِٱلۡغُدُوِّ وَٱلۡأٓصَالِ وَلَا تَكُن مِّنَ ٱلۡغَٰفِلِينَ
Dan berdzikirlah kepada Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah. [QS. Al-A’raf: 205]
Imam al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:
أَيْ دُونَ الرَّفْعِ فِي الْقَوْلِ. أَيْ أَسْمِعْ نَفْسَكَ …. وَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ مَمْنُوعٌ.
Yaitu dengan tidak meninggikan suara dalam ucapan, yaitu dengarkanlah oleh dirimu… Ini menunjukkan bahwa meninggikan suara dalam dzikir adalah terlarang. (Tafsir Al Qurthubi, 7/355)
Imam Ibnu Taimiyah berkata:
الصلاة عليه هي دعاء من الأدعية… والسنة في الدعاء كله المخافتة، إلا أن يكون هناك سبب يشرع له الجهر
Shalawat kepada Nabi ﷺ termasuk bagian dari doa … sunnah dari berdoa seluruhnya adalah dengan suara pelan kecuali ada sebab syar’i yang membuat dikeraskan (Majmu’ al Fatawa, 22/468-469)
Apalagi jika dinyanyikan, maka larangannya lebih kuat lagi karena hal itu menyerupai cara orang Nasrani dalam berdoa atau beribadah. Sebagian ulama memasukkan hal ini dalam maksiat di masjid.
Imam As Suyuthi memaparkan hal-hal terlarang di masjid sbb:
ومن ذلك الرقص، والغناء في المساجد، وضرب الدف أو الرباب، أو غير ذلك من آلات الطرب.
فمن فعل ذلك في المسجد، فهو مبتدع، ضال، مستحق للطرد والضرب؛ لأنه استخف بما أمر الله بتعظيمه، قال الله تعالى: (في بيوت أذن الله أن ترفع ” أي تعظم ” ويذكر فيها اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد أمر الله بتعظيمها، وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط، والثوم، والبصل، وإنشاد الشعر فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص فهو مبتدع، ضال مضل، مستحق للعقوبة.
“Di antaranya adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duf (rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis alat-alat musik. Maka, barang siapa yang melakukan itu di masjid maka dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut baginya diusir dan dipukul, karena dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Ta’ala berfirman: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” Yaitu dibacakan kitabNya di dalamnya. Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran, najis, anak-anak, ingus, bawang putih, bawang merah, menyenandungkan sya’ir di dalamnya, nyanyian dan tarian, dan barang siapa yang bernyanyi di dalamnya atau menari maka dia adalah pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan, dan berhak diberikan hukuman.” (Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, Hal. 30. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Pihak Yang Membolehkan
Sebagian ulama membolehkan hal itu dengan syarat tidak sampai mengganggu orang lain yg sdg shalat, atau untuk melahirkan semangat untuk ibadah.
Hal ini ditegaskan oleh Imam an Nawawi Rahimahullah sebagaimana dikutip dalam kitab Ruhul Bayan berikut:
وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّياَءَ أَوْتَأَذَّى المُصَلُّوْنَ أَوْالنَّائِمُوْنَ. وَالجَهْرُ أَفْضَلُ فِيْ غَيْرِ ذَالِكَ لِأَنَّ العَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنََّ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيُصَرِّفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيُطَرِّدُ النَّوْمَ
“Imam Nawawi mengkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut. Bahwasanya memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya’, mengganggu orang yang shalat atau orang tidur. Dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan kantuk serta menambah semangat.” (Ruhul Bayan, 3/306)
Ada pun jika dibawakannya sambil bersenandung, selama tidak menyerupai senandung orang kafir, mereka masih memberikan toleransi sebab sebagian salaf pernah bernasyid di masjid seperti Hassan bin Tsabit Radhiallahu ‘Anhu sebagaimana dalam hadits Shahih Bukhari.
Namun Jika sampai mengganggu orang yang shalat, maka itu terlarang dan tidak ada beda pendapat dalam hal itu. Demikian. Wallahu A’lam.