Pertanyaan
Assalamu’alaikum ustadz Bagaimana cara mensucikan bekas telapak kaki anjing di teras depan rumah, soalnya bekas telapak kakinya banyak ustadz sehingga saya bingung cara mensucikannya dan bekas telapak kaki itu sekarang sudah disiram oleh ibu saya dan juga bekas telapak kaki anjing itu sudah diinjak oleh ayah saya dalam keadaan kakinya basah Mohon solusinya ustadz.
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Bismillahirrahmanirrahim..
Tetang najisnya Anjing, para ulama berbeda pendapat. Secara garis besar ada tiga kelompok.
Pertama, yang menyatakan bahwa seluruh tubuh Anjing adalah najis, baik luarnya seperti buku, kulit, keringat, maupun dalamnya seperti liur, darah, dan dagingnya. Inilah pandangan Imam Asy Syafi’i, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya.
Kedua, yang menyatakan bahwa najisnya Anjing adalah hanya liurnya saja, anggota tubuh yang lain adalah suci. Inilah pandangan jumhur (mayoritas) ulama, juga Imam Asy Syaukani, Syaikh Sayyid Sabiq dan lain-lain.
Ketiga, yang menyatakan seluruhnya adalah suci termasuk air liurnya. Inilah pandangan Imam Malik.
Mari kita lihat alasan masing-masing kelompok.
Kelompok pertama. Mereka berargumen dengan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ
“Jika Seekor Anjing minum (walagha) di bejana kalian, maka cucilah tujuh kali.” (HR. Bukhari No. 172, Muslim No. 279, 90)
Sementara dari jalur Abu Hurairah lainnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucikanlah bejana kalian, jika seekor Anjing minum di dalamnya, dengan mencucinya tujuh kali, dan yang pertamanya dengan tanah.” (HR. Muslim No. 279, 91)
Hadits ini menunjukkan bahwa liur anjing adalah najis, bahkan najis berat (mughallazhah). Jika yang diminum adalah airnya, lalu kenapa yang diperintah untuk dicuci juga bejananya? Bukankah cukup dengan dibuang saja airnya? Padahal bejananya tidak dijilat, hanya airnya saja yang kena. Nah, terlepas dari makna walagha adalah menjilat atau minum dan lain-lain, perintah untuk mencuci sampai tujuh kali bejana menunjukkan kenajisannya, sebab jika memang suci, pastilah tidak akan ada perintah tersebut.
Selain itu mereka juga mengqiyaskan bahwa najisnya liur, menunjukkan najisnya seluruh tubuh anjing. Lagi pula anjing punya kebiasaan menjilat-jilat tubuhnya, sehingga tubuhnya terbungkus oleh liurnya yang najis.
Berkata Imam Ash Shan’ani Rahimahullah ketika mengomentari hadits di atas:
وَهُوَ ظَاهِرٌ فِي نَجَاسَةِ فَمِهِ ، وَأُلْحِقَ بِهِ سَائِرُ بَدَنِهِ قِيَاسًا عَلَيْهِ ، وَذَلِكَ ؛ لِأَنَّهُ إذَاثَبَتَ نَجَاسَةُ لُعَابِهِ ، وَلُعَابُهُ جُزْءٌ مِنْ فَمِهِ ، إذْ هُوَ عِرْقُ فَمِهِ ، فَفَمُهُ نَجِسٌ ، إذْالْعِرْقُ جُزْءٌ مُتَحَلِّبٌ مِنْ الْبَدَنِ ، فَكَذَلِكَ بَقِيَّةُ بَدَنِهِ
“Secara zhahir, mulutnya pun najis. Ketika dia menjilati seluruh badannya maka itu menjadi qiyas atasnya. Hal itu karena sudah pasti najisnya liur anjing, dan liur merupakan bagian dari mulutnya. Ketika mulutnya berkeringat maka mulutnya juga najis. Jika keringat bagian yang keluar dari badan, maka demikian juga anggota badan lainnya (juga najis).” (Subulus Salam, 1/22)
Jika kita ikut pendapat ini, maka wajib mencucinya dengan cara tujuh kali siraman dan awalnya dengan tanah. Namun jika sudah berlangsung lama kejadiannya, maka itu sudah terhapus dengan sendirinya karena dia telah hilang oleh udara, dan mengering.
Kelompok kedua. Inilah jumhur (mayoritas). Mereka mengakui bahwa liur anjing adalah najis, tetapi anggota tubuh lainnya adalah suci. Hal ini berdasarkan hadits-hadits di atas juga.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
الكلب: وهو نجس ويجب غسل ما ولغ فيه سبع مرات، أولاهن بالتراب
“Anjing, dia najis dan wajib mencuci apa-apa yang dijilatnya sebanyak tujuh kali dan yang pertamanya dengan tanah.” (lalu beliau menyebutkan hadits di atas) Tetapi beliau juga berkata:
أما شعر الكلب فالاظهر أنه طاهر، ولم تثبت نجاسته.
“Adapun bulu anjing, yang lebih benar adalah suci tidak ada dalil yang kuat yang menyebutnya najis.” (Fiqhus Sunnah, 1/29)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:
أَمَّا الْكَلْبُ فَلِلْعُلَمَاءِ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ مَعْرُوفَةٍ : أَحَدُهَا : أَنَّهُ نَجِسٌ كُلُّهُ حَتَّى شَعْرُهُكَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَد فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ . وَالثَّانِي : أَنَّهُ طَاهِرٌ حَتَّى رِيقُهُكَقَوْلِ مَالِكٍ فِي الْمَشْهُورِ عَنْهُ . وَالثَّالِثُ : أَنَّ رِيقَهُ نَجِسٌ وَأَنَّ شَعْرَهُ طَاهِرٌ وَهَذَامَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ الْمَشْهُورُ عَنْهُ وَهَذِهِ هِيَ الرِّوَايَةُ الْمَنْصُورَةُ عِنْدَ أَكْثَرِأَصْحَابِهِ وَهُوَ الرِّوَايَةُ الْأُخْرَى عَنْ أَحْمَد وَهَذَا أَرْجَحُ الْأَقْوَالِ .
“Adapun anjing, para ulama kita terbagi atas tiga pendapat: Pertama. Bahwa anjing najis seluruhnya termasuk bulunya, inilah pendapat Asy Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya. Kedua. Bahwa anjing adalah suci termasuk liurnya inilah pendapat yang masyhur (terkenal) dari Malik. Ketiga. Bahwa liurnya adalah najis, namun bulunya adalah suci, inilah madzhab yang masyhur dari Abu Hanifah, dan inilah riwayat yang didukung oleh mayoritas pengikutnya, dan inilah riwayat lain dari Ahmad. Inilah pendapat yang lebih kuat.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/616)
Beliau juga berkata:
فَأَحَادِيثُهُ كُلُّهَا لَيْسَ فِيهَا إلَّا ذِكْرُ الْوُلُوغِ لَمْ يَذْكُرْ سَائِرَ الْأَجْزَاءِ فَتَنْجِيسُهَا إنَّمَاهُوَ بِالْقِيَاسِ
Semua hadits-haditsnya, hanya menunjukkan Al Wulugh (menjilat, meminum), tidak menunjukkan seluruh bagian tubuh. Maka pengharamannya hanyalah qiyas saja. (Ibid)
Beliau menjelaskan pendapat Imam Ahmad bin Hambal dalam masalah bulu anjing.. Bahwa ada dua riwayat dari Imam Ahmad demikian:
إحْدَاهُمَا : أَنَّهُ طَاهِرٌ وَهُوَ مَذْهَبُ الْجُمْهُورِ كَأَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ .وَالرِّوَايَةُ الثَّانِيَةُ : أَنَّهُ نَجِسٌ كَمَا هُوَ اخْتِيَارُ كَثِيرٍ مِنْ مُتَأَخِّرِي أَصْحَابِ أَحْمَدوَالْقَوْلُ بِطَهَارَةِ ذَلِكَ هُوَ الصَّوَابُ .
“Riwayat pertama, bahwa itu adalah suci, dan ini adalah madzhab jumhur seperti Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan Malik. Riwayat kedua, bahwa itu adalah najis, sebagaimana yang dipilih oleh kebanyakan para pengikut Imam Ahmad. Namun, yang menyatakan kesuciannya, maka itulah yang benar.” (Ibid)
Bahkan beliau juga menyatakan lebih jauh lagi bahwa bulu babi juga suci.
وَالْقَوْلُ الرَّاجِحُ هُوَ طَهَارَةُ الشُّعُورِ كُلِّهَا : شَعْرُ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ وَغَيْرُهُمَابِخِلَافِ الرِّيقِ وَعَلَى هَذَا فَإِذَا كَانَ شَعْرُ الْكَلْبِ رَطْبًا وَأَصَابَ ثَوْبَ الْإِنْسَانِ فَلَاشَيْءَ عَلَيْهِ كَمَا هُوَ مَذْهَبُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ : كَأَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَد فِي إحْدَىالرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ : وَذَلِكَ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي الْأَعْيَانِ الطَّهَارَةُ فَلَا يَجُوزُ تَنْجِيسُ شَيْءٍوَلَا تَحْرِيمُهُ إلَّا بِدَلِيلِ .
“Dan pendapat yang kuat adalah sucinya bulu seluruh hewan: bulu anjing, babi, dan selain keduanya. Sedangkan liur terjadi perbedaan pendapat. Oleh karena itu jika bulu anjing basah dan mengenai pakaian manusia maka tidak mengapa, sebagaiama itu menjadi madzhab jumhur fuqaha: seperti Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya. Hal itu karena asal dari berbagai benda adalah suci, maka tidak boleh menajiskan sesuatu dan mengharamkan kecuali dengan dalil.” (Ibid)
Kelompok ini juga berdalil bahwa pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Anjing lalu lalang di masjid nabi, namun tidak satu pun para sahabat menyiram bekas tapak kaki mereka, sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Kelompok ketiga. Kalangan yang mengatakan bahwa semua tubuh anjing adalah suci termasuk liurnya. Inilah pandangan Malik, Daud, dan Az Zuhri. Mereka mengatakan:
إنَّ الْأَمْرَ بِالْغَسْلِ لِلتَّعَبُّدِ لَا لِلنَّجَاسَةِ
“Sesungguhnya perintah untuk mencucinya itu bermakna ta’abbud (peribadatan), bukan berarti najis.” (Subulus Salam, 1/22)
Imam Abul Walid al Baji Rahimahullah mengatakan:
وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا نَقُولُهُ أَنَّ هَذَا حَيَوَانٌ يَجُوزُ الِانْتِفَاعُ بِهِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ فَكَانَطَاهِرًا كَالْأَنْعَامِ
“Dalilnya adalah apa-apa yang telah kami sebutkan, bahwa hewan ini boleh dimanfaatkan walau tanpa alasan terdesak, maka ia termasuk suci sebagaimana hewan ternak.” (Al Muntaqa Syarh Al Muwatha’, 1/74)
Dalil lainnya adalah ayat Al Quran yang membolehkan makanan hasil buruan tanpa memerintahkan mencucinya:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَتُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِوَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang Dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat cepat hisab-Nya.” (QS. Al Maidah (5): 4)
Syaikh Prof. Dr. Yusuf al Qaradhawi dalam Fikih Thaharah-nya mengatakan: “Sedangkan saya sendiri cenderung pada pendapat Imam Malik bahwa semua yang hidup adalah suci. Oleh sebab itulah, dibolehkan bagi kita memakan hasil buruannya. Dan perintah Nabi untuk mencuci apa yang dijilat anjing adalah sesuatu yang ta’abbudi.”
Yang dimaksud ta’abbudi di sini adalah bahwa perintah tersebut bernilai ibadah yang tanpa harus tahu sebab dan hikmahnya, melainkan terima jadi saja, karena ini masalah peribadatan.
Demikian perselisihan para imam tentang status kenajisan anjing. Seandainya kita meyakini pendapat mayoritas atau Malikiyah yaitu tapak kaki anjing tersebut suci maka, tidak perlu membersihkannya dengan cara tujuh siraman dengan diawali tanah. Tapi, jika kita ikuti pendapat Syafi’iyah maka silahkan dengan cara itu.
Demikian. Wallahu a’lam.