Apakah Demo Diperbolehkan?

Pertanyaan  

Assalamualaikum ustadz, ada hadits sebagai berikut “Barangsiapa membenci tindakan (kebijakan) yang ada pada penguasanya, hendaklah dia bersabar. Karena siapa saja yang keluar dari (ketaatan) terhadap penguasa (seakan-akan) sejengkal saja, maka dia akan mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini dijadikan sebagian ulama mengharamkan demo, apakah hadits ini kuat hingga harus dipatuhi?

Jawaban
Ustadz Farid Nu'man, SS

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Hadits-hadits tentang bagaimana menyikapi penguasa yang zalim atau kebijakannya yang keliru, itu beragam hadits. Ada hadits yang menyebut bersabar, ada yang menyebut menasihatinya diam-diam, ada yang menyebut amar ma’ruf nahi munkar kepada mereka termasuk jihad yang paling utama, ada pula yang menunjukkan bolehnya dinasihati terang-terangan.

Mengambil kesimpulan dan sikap dari satu hadits saja, akan melahirkan ketergelinciran. Ibarat puzzle yang belum lengkap terpasang, tapi kita sudah berani  menebak itu gambar apa.

Inilah yang disindir oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berikut:

وأقول لكم: إنه لم يضل من ضل من هذه الأمة إلا بسبب أنهم يأخذون بجانب من النصوص ويدعون جانباً، سواء كان في العقيدة أو في معاملة الحكام أو في معاملة الناس، أو في غير ذلك

Aku katakan kepada kalian: “Kesesatan yang terjadi pada umat ini tidaklah terjadi, kecuali  karena mereka mengambil sebagian dalil saja, sama saja apakah itu dalam urusan aqidah, atau muamalah terhadap penguasa, atau muamalah kepada manusia, atau hal lainnya….”

(Liqo Baab Al Maftuuh no. 62)

Pada paragraf sebelumnya, Beliau juga berkata:

فإذا رأينا أن الإنكار علناً يزول به المنكر ويحصل به الخير فلننكر علناً، وإذا رأينا أن الإنكار علناً لا يزول به الشر، ولا يحصل به الخير بل يزداد ضغط الولاة على المنكرين وأهل الخير، فإن الخير أن ننكر سراً، وبهذا تجتمع الأدلة، فتكون الأدلة الدالة على أن الإنكار يكون علناً فيما إذا كنا نتوقع فيه المصلحة، وهي حصول الخير وزوال الشر، والنصوص الدالة على أن الإنكار يكون سراً فيما إذا كان إعلان الإنكار يزداد به الشر ولا يحصل به الخير.

….Jika kita melihat bahwa mengingkari secara terang-terangan bisa menghilangkan kemungkaran dan melahirkan kebaikan MAKA INGKARILAH SECARA TERANG-TERANGAN. Dan, jika kita melihat bahwa mengingkari secara terang-terangan tidak menghilangkan keburukan, tidak pula menghasilkan kebaikan, bahkan menambah  tekanan dari penguasa terhadap para pengingkar dan orang-orang baik, MAKA LEBIH BAIK ADALAH MENGINGKARINYA DIAM-DIAM. Inilah kompromi berbagai dalil-dalil yang ada.

Dalil-dalil menunjukkan bahwa mengingkari secara terang-terangan itu dilakukan selama kita mendapatkan maslahat, dan menghasilkan kebaikan serta menghilangkan keburukan. Nash-nash juga menunjukkan bahwa mengingkari itu dilakukan secara diam-diam jika dilakukan terang-terangan justru menambah keburukan dan tidak menghasilkan kebaikan. (Ibid)

Maka, ajakan sabar saja tanpa ada usaha yang ril adalah ajakan yang baik tapi tidak lengkap. Itu memakai sebagian dalil tapi meninggalkan dalil-dalil yang lainnya.

Beberapa dalil anjuran menasihati pemimpin:

Pertama.

الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya, “Nasihat untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta kaum awam mereka.”

(HR. Muslim no. 55)

Kedua.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

“Dari Abu Said al Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang ‘adil di depan penguasa  atau pemimpin yang zhalim.”

(HR. Abu Daud No. 4344.  At Tirmidzi No. 2174, katanya: hadits ini hasan gharib.  Ahmad No.  18830, dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul haq (perkataan yang benar).  Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan SHAHIH. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 18830).

Ketika menjelaskan hadits ini, Imam Ibnu Jarir mengatakan salah satu pendapat para salaf yaitu:

الواجبُ على من رأى منكرًا من ذى سلطان أن ينكره علانيةً وكيف أمكنه، روى ذلك عن عمر بن الخطاب وأبىّ بن كعب، واحتجوا بقوله  – صلى الله عليه وسلم – :  « من رأى منكم منكرًا فليغيره بيده، فإن لم يستطيع فبلسانه، فإن لم يستطيع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان »

Wajib bagi yang melihat kemungkaran dan dia punya kekuatan/kemampuan untuk mengingkarinya terang-terangan sebisa mungkin. Hal ini diriwayatkan dari UMAR BIN KHATHAB, dan UBAY BIN KA’AB. Mereka beralasan hadits: “Siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya …dst”

(Dikutip oleh Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 19/62)

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, saat ditanya bagaimana menyikapi pemimpin yang keliru, Beliau menjawab:

الجواب: الأصل أن المُنكِر يتحرى ما هو الأصلح والأقرب إلى النجاح، فقد ينجح في مسألة مع أمير ولا ينجح مع الأمير الثاني، فالمسلم الناصح يتحرى الأمور التي يرجو فيها النجاح، فإذا كان جهره بالنصيحة في موضع يفوت الأمر فيه، مثل قصة أبي سعيد، والرجل الذي أنكر على مروان إخراج المنبر، وتقديم الصلاة، فهذا لا بأس؛ لأنه يفوت، أما إذا كان الإنكار على أمور واقعة، ويخشى أنه إن أنكر لا يقبل منه أو تكون العاقبة سيئة، فيفعل ما هو الأصلح ……

……. Seandainya menasihati secara terang-terangan dalam perkara yang dia (pempimpin) abaikan, seperti dalam kisah Abu Said dan laki-laki yang mengingkari Marwan saat dia keluar ke mimbar dan mendahulukan shalat, maka INI TIDAK APA-APA, karena dia telah terlewat hal itu. Ada pun jika mengingkari dalam urusan yang riil terjadi dan dia khawatir jika diingkar dia (pemimpin)  tidak menerimanya atau khawatir terjadi hal yang buruk, maka lakukanlah yang lebih bermaslahat  ….

(Selengkapnya LIHAT: https://audio.islamweb.net/audio/index.php/index.php page=FullContent&full=1&audioid=113613)

Begitu pula Syaikh Muhammad Naahiruddin Al Albani Rahimahullah, Beliau di tanya tentang menasihati pemimpin secara terang-terangan, saat membahas hadits Abu Said Al Khudri, Beliau berkata:

إذا خالف الحاكم الشريعة علنا, فالإنكار عليه علنا لا مخالفة للشرع في ذلك

Jika seorang pemimpin menyelisihi syariat secara terang-terangan, maka dia diingkari dengan cara terang-terangan pula, dan hal itu tidak bertentangan dengan syariat. (Lihat: https://youtu.be/gy_DRXwmpSc   (detik ke 38 sd 49)

Ada pun tentang demonstrasi, selama dilakukan secara damai, santun, itu boleh-boleh saja.

Syaikh Dr. Asy Syarif Hatim bin ‘Aarif Al ‘Auniy, ulama dari Universitas Ummul Qurra – Mekkah, beliau berkata:

فالمظاهرات السلمية، التي لا تُشهر السلاح، ولا تسفك الدماء، ولا تخرج للاعتداء على الأنفس والممتلكات ليست خروجًا مسلحًا على الحكام، ولذلك فلا علاقة للمظاهرات السلمية بتقريرات الفقهاء عن الخروج وأحكامه؛ لأنها ليست خروجًا، ومن أدخلها في هذا الباب فقد أخطأ خطأً بيّـنًا.

Aksi demonstrasi damai yang di dalamnya tidak terdapat senjata dan tidak ada pertumpahan darah, dan tidak pula menyerang manusia dan negara, bukanlah termasuk pemberontakan kepada pemerintah. Oleh karena itu tidak ada kaitannya antara demonstrasi damai dengan ketetapan para fuqaha tentang memberontak kepada pemerintah karena itu bukanlah pemberontakan. Barang siapa yang memasukan ini ke dalam pemberontakan maka dia telah JELAS-JELAS SALAH.

والمظاهرات السلمية هي وسيلة من وسائل التعبير عن الرأي، ومن وسائل التغيير، ومن وسائل الضغط على الحاكم للرضوخ لرغبة الشعب. فإن كان الرأيُ صوابًا، والتغييرُ للأصلح، ورغبةُ الشعب مشروعةً = كانت المظاهرةُ حلالاً، بشرط ألاّ يترتب عليها مفسدة أعظم من مصلحتها المطلوبة. فحكم المظاهرات حكم الوسائل، وللوسائل حكم الغايات والمآلات.

Aksi Demonstrasi damai adalah salah satu sarana menyampaikan pendapat, dan sarana melakukan perubahan, serta sarana untuk menekan pemerintah agar mematuhi kehendak rakyat. Jika pendapat itu BENAR, perubahannya lebih baik, dan kehendak itu pun hal  disyariatkan, maka aksi demo tersebut HALAL. Dengan syarat aktifitas tersebut tidak memunculkan kerusakan lebih besar dari maslahat yang sedang dituntut. Maka, hukum dari aksi demonstrasi mengikuti hukum sarana-sarananya, dan hukum sarana mengikuti hukum tujuan dan dampak-dampaknya.

(Sumber: http://www.islamtoday.net/nawafeth/artshow-40-145791.htm)

Bahkan para salaf dan khalaf memimpin aksi massa menghadapi pemimpin yang zalim.

Misal Imam di masa tabi’in, Amir asy Sya’bi Rahimahullah. Dari Mujalid, bahwa Asy Sya’bi   berkata:

فأتاني قراء أهل الكوفة، فقالو: يا أبا عمرو، إنك زعيم القراء، فلم يزالوا حتى خرجت معهم، فقمت بين الصفين أذكر الحجاج وأعيبه بأشياء، فبلغني أنه قال: ألا تعجبون من هذا الخبيث ! أما لئن أمكنني الله منه، لاجعلن الدنيا عليه أضيق من مسك جمل

“Maka, para Qurra’ dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: “Wahai Abu Amr, Anda adalah pemimpin para Qurra’.” Mereka senantiasa merayuku hingga aku keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua barisan (yang bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj dan aib-aib yang telah dilakukannya.” Maka sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata: “Tidakkah kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah Allah mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat lebih kecil dari kulit Unta membungkusnya.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/304).

Begitu pula Imam Ibnu Taimiyah. Imam Al Bazar bercerita:

ولما ظهر السلطان بن غازان على دمشق المحروسة جاءه ملك االكرج وبذله له أموالا كثيرة جزيلة على أن يمكنه من الفتك بالمسلمين من أهل دمشق. فوصل الخبر الى الشيخ فقام من فوره وشجع المسلمين  ورغبهم في الشجاعة ووعدهم على قيامهم بالنصر والظفر والأمن وزوال الخوف. فانتدب منهم رجال من وجوههم، وكبرائهم، وذوي الأحلام منهم، فخرجوا معه إلى حضرة السلطان غازان، فلما رآهم السلطان قال: من هؤلاء؟ فقيل هم رؤساء دمشق، فأذن لهم فحضروا بين يديه، فتقدم الشيخ رحمه الله أولًا، فلما أن رآه أوقع الله له في قلبه هيبةً عظيمة، حتى أدناه وأجلسه، وأخذ الشيخ في الكلام معه أولًا في عكس رأيه عن تسليط المخذول ملك الكرج على المسلمين، وضمن له أموالًا وأخبره بحرمة دماء المسلمين، وذكَّره ووعظه فأجابه إلى ذلك طائعًا، وحقنت بسببه دماء المسلمين وحميت ذراريهم وصِين حريمهم)

“Tatkala Sultan Ibnu Ghazan berkuasa di Damaskus, Raja Al Karaj datang kepadanya dengan membawa harta yang banyak agar Ibnu Ghazan memberikan kesempatakan kepadanya untuk menyerang kaum musimin Damaskus. Namun berita ini sampai ke telinga Syaikh Ibnu Taimiyah. Sehingga ia langsung bertindak menyulut semangat kaum muslimin untuk menentang rencana tersebut dan menjanjikan kepada mereka suatu kemenangan, keamanan, kekayaan, dan rasa takut yang hilang. Lalu bangkitlah para pemuda, orang-orang tua dan para pembesar mereka menuju sultan Ghazan.   Ketika Sultan melihat mereka, dia bertanya: “Siapa mereka?” Maka dijawab: “Mereka adalah tokoh-tokoh Damaskus.” Sultan mengizinkan mereka dan berdiri dihadapannya. Lalu pertama-tama majulah Syaikh Ibnu Taimiyah Rahimahullah, tatkala Sultan Ghazan melihat Syaikh Ibnu Taimiyah, Allah menjadikan hati Sultan  Ghazan mengalami ketakutan yang hebat terhadapnya sehingga ia meminta Syaikh Ibnu Taimiyah agar mendekat dan duduk bersamanya. Kesempatan tersebut digunakan Syaikh Ibnu Taimiyah untuk menolak rencananya, yaitu memberikan kesempatan keada Raja Al Karaj yang hina untuk menghabisi umat Islam Damaskus dengan imbalan harta. Ibnu Taimiyah memberitahu Sultan Ibnu Ghazan tentang kehormatan darah muslimin, mengingatkan dan memberi nasihat kepadanya. Maka Ibnu Ghazan menurut nasihat Ibnu Tamiyah tersebut. Dari situ, terselamatkanlah darah-darah umat Islam, terhaga isteri-isteri mereka, dan terjaga budak-budak perempuan mereka.”

(Imam Al Bazar, Al A’lam Al ‘Aliyah, Hal. 67)

Demikian. Wallahu a’lam.

Konsultasi Terkait