Apakah Boleh Menjama’ Sholat Selama Seminggu Saat Bepergian?

Pertanyaan  

Assalamualaikum ustadz saya mau bertanya, jika saya safar selama seminggu karena tugas bolehkah selama seminggu saya sholatnya jama dan qashar? Novita

Jawaban
Ustadz Farid Nu'man, SS

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Berapa lamakah interval waktu dibolehkannya jamak dan qashar?

Hal ini tergantung keadaan safarnya. Seseorang safar tidak lepas dari tiga keadaan.

Pertama. Safar dengan tujuan pindah domisili lalu menetap di suatu daerah atau negeri. Menetap maksudnya menjadi penduduk tetap dengan dibuktikan nantinya kepemilikan ID card negeri tersebut, baik KTP atau KK. Maka, kebolehannya hanya ketika safar saja. Sesampainya di tempat tujuan maka sudah tidak ada rukhshah/keringanan tersebut, kecuali kembali dia menjalani safar di waktu lain atau dia mengalami berbagai masyaqqat (kesulitan) di sana, maka kembali berlaku hukum jamak, seperti hujan lebat, sakit, takut kepada musuh, bencana alam, dan semisalnya.

Kedua. Safar dengan niat singgah tapi dengan waktu yang belum jelas kapan pulangnya, seperti peperangan, merantau, dan semisalnya, yang waktu selesainya tidak bisa dipastikan. Maka, selama itu pula dia boleh menjamak dan qashar. Sebab statusnya tetap seorang yang safar. Dalam Musnadnya Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Nabi ﷺ  bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dan beliau senantiasa mengqashar shalatnya.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Nabi ﷺ  bermukim dalam salah satu perjalanan selama sembilan belas hari dan selalu mengerjakan shalat dua rakaat.”

Hafsh bin Ubaidillah mengatakan bahwa Anas bin Malik bermukim di Syam selama dua tahun dan terus mengerjakan qashar sebagaimana shalatnya musafir. Menurut Anas bin Malik, para sahabat Nabi ﷺ bermukim di daerah Ramhurmuz selama tujuh bulan dan tetap mengqashar shalat. Berkata Al Hasan, “Aku pernah bermukim bersama Adurrahman bin Samurah di kota Kabul selama dua tahun, dan dia terus mengqashar shalatnya.” Ibrahim juga pernah mengatakan bahwa para sahabat pernah bermukim di Ray selama satu tahun atau lebih dan di Sijistan selama dua tahun, tetap mengqashar shalat. Ibnu Umar  pernah tinggal di Azarbaijan selama enam bulan dan tetap mengqahar sebab terhalang oleh salju.

Ketiga. Jenis safar satunya lagi, yaitu singgahnya sudah diketahui lamanya dan kapan pulangnya, seperti dinas kantor, ziarah ke rumah saudara, dan semisalnya. Maka, ini dibatasi. Secara ringkas, dalam madzhab Hanafi dan Laits bin Sa’ad mengatakan durasinya adalah empat belas hari, selebihnya tidak boleh. Madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, adalah empat hari selebihnya tidak boleh, ini juga pendapat Sa’id bin Musayyab.

Demikian. Wallahu A’lam