Pointer Khutbah Juma’t 1443 H (Seri 82)
Tema : Menjaga Lisan
Penulis : KH. Dr. Surahman Hidayat, MA
إنَّ الْحَمْدَ لِلّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفرهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنُعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللّه فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِل فَلاَ هَادِي لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إلاّ اللّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ والصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى حَبِيْبِنَا وَحَبِيْبِ رَبِّ العالمَيْنَ إمامِ المتقين وقَائدِ المجاهدين سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وأنصاره وجنوده وَمَنْ تَبِعَهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ أَمّا بَعْدُ».
فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، حَيْثُ قَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْعَزِيْزِ:
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Khutbah I
Jamaah Jum’at rahimakumullah
Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah atas seluruh nikmat-Nya yang tercurah kepada kita. Khususnya nikmat iman dan Islam sehingga hidup kita terarah dan terbimbing menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
Akhir-akhir ini kita disuguhi oleh sejumlah keributan dan kegaduhan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Setelah sejumlahnya muncul pernyataan kontroversial terkait simbol agama yang melahirkan reaksi dari umat, saat ini keluar pula ucapan dari pejabat dan tokoh yang dianggap menghina dan merendahkan ras dan suku tertentu. Akhirnya, unjuk rasa dalam berbagai bentuk ditunjukkan sebagai respon dari ucapan tersebut. Sungguh sebuah kondisi yang tidak menguntungkan bagi bangsa kita yang sedang menghadapi sejumlah krisis dan kesulitan.
Sungguh tepat pepatah yang berbunyi, “mulutmu harimaumu”. Sebuah perkataan memang bisa memberikan dampak yang sangat besar. Karena itu sangat penting untuk menjaga lisan (hifdzul lisan) agar tidak salah dan tidak menyakiti seseorang atau sebuah komunitas. Ini semua berpulang pada masalah iman.
Nabi saw mengingatkan bahwa standar iman tidak hanya diukur dari kuantitas ibadah mahdah yang dilakukan. Tetapi juga diukur dan ditunjukkan oleh ucapan dan perkataan yang keluar. Nabi saw bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, sebelum berbicara dan berkata-kata, seorang mukmin harus melihat dan memikirkan dampak dari pembicaraannya. Bila diduga besar akan berdampak kebaikan, maka boleh dan bagus untuk diucapkan. Namun bila dampak kebaikannya masih diragukan, apalagi diduga kuat akan melahirkan bahaya dan keburukan, maka hendaknya tidak diucapkan.
Itulah ciri dan sifat dari orang yang cerdas dan bijak. Ia selalu menimbang berkali-kali atau bahkan seribu kali sebelum berbuat dan berbicara terkait dengan dampak yang akan ditimbulkan. Apalagi bila menyangkut suku tertentu sebagai sebuah komunitas yang cukup besar.
Bila seorang muslim berpegang pada hadits di atas, ia akan mendapat salah satu dari dua kebaikan. Bila ucapannya diyakini baik dan berdampak baik, ia pun mendapatkan ganjaran kebaikan. Namun bila diduga akan menimbulkan keburukan dan kegaduhan sehingga diam, maka ia pun selamat, baik di dunia terlebih di akhirat.
Di samping terkait dengan masalah iman, sikap dan cara berkomunikasi juga terkait dengan falsafah bangsa dan negara; yaitu pancasila. Khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam hal ini warga negara yang beradab dituntut untuk dapat bertutur kata baik yang mendatangkan manfaat baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat. Tidak boleh melanggar hukum dan menyinggung SARA (suku, ras, dan agama). Sebab, bila sudah menyinggung SARA akibatnya akan meluas.
Selain itu, yang juga harus diperhatikan dan diwaspadai di era digital seperti sekarang ini adalah penyebarluasan hoaks. Sebab ini sangat berpotensi berurusan dengan hukum. Cukuplah kasus-kasus yang terjadi sebelumnya menjadi pelajaran berharga untuk tidak diulang.
Jamaah Jum’at rahimakumullah
Sikap takwa yang menjadi landasan muslim dalam bersikap dan bertutur kata harus menjadikannya berhati-hati. Nabi saw memberikan gambaran sosok muslim dengan sabda beliau,
المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Muslim ialah orang yang semua orang Islam selamat dari kejahatan lidah -ucapan -dan kejahatan tangannya-perbuatannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ia harus memastikan bahwa ucapan dan perbuatannya tidak menyakiti dan melukai orang. Apalagi menyerang dan berpotensi memunculkan permusuhan.
Dalam hadits lain, beliau juga bersabda,
مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Siapa yang bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga”. (HR al-Bukhari).
Dua hal yang disebutkan oleh Nabi saw tersebut (mulut dan kemaluan) pada saat sekarang ini terutama menjadi sesuatu yang disepelekan dan kerap dilanggar sehingga menimbulkan fitnah dan dampak negatif yang besar. Itu terlihat dari berbagai kemaksiatan dan pelanggaran yang semakin merajalela, naudzu billah.
Tidak aneh bila dalam satu kesempatan, Nabi saw mengingatkan Mu’adz bin Jabal ra dan umat bahwa yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah ketidakmampuan mengendalikan lisan. Hal itu seperti yang disebutkan dalam hadits,
وَهَلْ يُكَبُّ النَّاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ
“Bukankah manusia dilemparkan ke dalam neraka dengan wajah tersungkur tidak lain disebabkan hasil panen (apa yang mereka peroleh) dari lisan-lisan mereka?” (HR at-Tirmdzi)
Jadi banyak orang masuk ke dalam neraka karena tidak mampu menjaga lisan. Mendapatkan bencana di dunia dan mendapatkan siksa di akhirat. Sungguh sebuah kerugian yang tidak bertepi.
Jamaah Jum’at rahimakumullah
Terkait dengan menjaga lisan terdapat sebuah cerita yang bisa menjadi ibrah. Disebutkan bahwa Lukman al-Hakim menerima seekor kambing dari tuannya. Sang tuan meminta Lukman menyembelih kambing tersebut dan mengantarkan bagian paling buruk, paling kotor, dari tubuh kambing itu. Maka, Lukman menggorok leher kambing, mengulitinya, dan mengiris-irisnya sesuai kebutuhan. Ia pun secara khusus mengambil bagian lidah dan hati kambing lalu mengantarkan kepada sang tuan.
Tuannya memberinya kambing lagi. Tugasnya sama: kambing harus menyembelih. Namun kali ini sang tuan menginginkan Lukman membawakannya bagian yang paling bagus, paling menyehatkan. Lukman menjalankan tugasnya lagi dengan baik. Kambing disembelih, lantas dibawakannya lagi bagian lidah dan hati. Lukman menyodorkan hal yang sama untuk dua permintaan yang saling berlawanan.
Tuannya pun bertanya-tanya tentang apa yang dilakukan Lukman. Jawab Lukman, “Wahai tuanku, tak ada yang lebih buruk ketimbang lidah dan hati bila keduanya buruk, dan tidak ada yang lebih bagus dari lidah dan hati bila keduanya bagus.” Kisah ini memberi pesan bahwa hal paling krusial dan paling menentukan dalam hidup adalah terjaganya hati dan lisan. Semoga Allah menjaga kita semua.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ بالْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ تِلاَوَتَه فِي كُلِّ وَقْتٍ وَحِين إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. واسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا، أَمَّا بَعْدُ،
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالْجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ
اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً،
اَللَّهُمَّ افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَّا بِالْحَقِّ وَاَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ الْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَر