Oleh: KH. Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Lc.
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63)
Arti “Wali” Secara Bahasa
Kata “wali” (اَلْوَلِيُّ ) dalam bahasa Arab punya banyak makna dan pecahan kata. Diantaranya berarti “dekat”. Kata “wali” dengan arti dekat disebutkan dalam firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar (dekat) kamu itu…” (QS. at-Taubah: 123)
• Berdasarkan arti bahasa ini, wali Allah adalah hamba yang dekat dengan Allah dan dicintai-Nya karena berbagai ibadah dan ketaatan yang dilakukannya.
• Kata “wali” juga berarti muwalat ) مُوَالَاةُ ) berkesinambungan dan berturut-turut. Yakni berbagai ibadah dan ketataatannya berlangsung secara berkesinambungan tanpa disela atau diputus oleh kemaksiatan terutama dosa besar.
• Kata “wali” juga berati pelindung, pembela dan penolong, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)…”.(QS. al-Baqarah: 257)
Definisi Wali Allah
• Di dalam ayat di atas (QS. Yunus: 63), Allah mendefinisikan wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan selalu menjaga ketakwaan. Yakni hamba-hamba Allah yang selalu menjaga keimanan dengan senantiasa meningkatkan dan menguatkannya melalu berbagai ibadah dan ketaatan kepada-Nya, dan senantiasa meningkatkan ketakwaan dengan selalu melaksanakan berbagai perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.
• Berdasarkan definisi ayat ini, tingkatan “wali Allah” bisa dicapai oleh semua orang asalkan beriman dan bertakwa kepada Allah. Derajat wali bukan monopoli orang-orang tertentu saja. Bahkan para wali Allah yang tidak dikenal lebih banyak dari para wali Allah yang dikenal. Dalam salah satu sabdanya, Nabi saw mengisyaratkan hal ini:
إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ
“Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah ada hamba yang apabila bersumpah (berdoa) maka Dia memenuhinya.” (Shahih al-Bukhari 2504)
• Dalam hadis lain disebutkan:
رُبَّ أَشْعَثَ مَدْفُوعٍ بِالْأَبْوَابِ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ
“Berapa banyak orang yang rambutnya kusut, tampak dihinakan dan diusir oleh orang-orang, namun apabila dia berdo’a kepada Allah, pasti Allah mengabulkannya.” (Shahih Muslim 4754)
• Untuk menjadi wali Allah tidak disyaratkan harus memiliki “karamah”, karena “karamah” adalah karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Seorang wali Allah bisa mendapat “karamah” dan bisa juga tidak mendapat “karamah”. Bahkan “karamah” yang didapat seorang wali Allah dipastikan tidak akan bertentangan dengan syariat Allah. Bila bertentangan dengan syariat Allah maka hal itu bukan “karamah” sekalipun diklaim sebagai “karamah”. Tidak semua orang yang bisa menunjukkan “hal aneh” itu wali Allah, khususnya bila “hal aneh” itu bertentangan dengan syariat Allah. Demikian pula, tidak semua “hal aneh” itu karamah.
Sifat-Sifat Wali Allah
Dalam berbagai ayat al-Quran dan hadis Nabi saw, definisi wali Allah yang disebutkan ayat di atas dirinci lebih detil. Rincian ini sekaligus menggambarkan sifat-sifat wali Allah secara lengkap. Diantaranya:
a- Mencintai Karena Allah dan membenci Karena Allah.
• Para wali Allah pasti mencintai orang-orang beriman dan bertakwa karena Allah dan membenci musuh-musuh Allah, karena Allah. Tidak mungkin seorang wali Allah membenci orang-orang beriman dan bertakwa atau tidak menyukai ajaran-ajaran Islam yang berasal dari Allah.
• Jika Allah meridhai sesuatu, mereka pasti meridhainya. Jika Allah membenci sesuatu, mereka pasti membencinya. Jika Allah memerintahkan memberikan sesuatu, pasti mereka memberikannya. Jika Allah melarang sesuatu, pasti mereka menahan diri darinya.
• Bila masih ada kebencian di hati kepada orang-orang beriman dan bertakwa karena faktor pribadi maka dia belum mencapai tingkatan wali Allah. Karena hatinya belum jernih dari kepentingan pribadi yang mengeruhkan kebencian dan kecintaannya terhadap sesuatu atau seseorang.
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدْ اسْتَكْمَلَ الْإِيمَانَ
“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan melarang (menahan) karena Allah, maka sempurnalah imannya.” (Sunan Abi Dawud 4681, Silsilat al-Ahadits Shahihah, al-Albani, 380)
b- Memperbanyak Ketaatan Dengan Menyambung Satu Ketaatan Dengan Ketaatan Lainnya.
• Baik ketaatan itu berupa amalan fardhu atau pun sunah. Siapa yang bisa mengisi waktu kehidupannya dengan berbagai amalan fardhu dan sunah secara sambung menyambung, tanpa terputus maka dia adalah wali Allah. Hal ini diisyaratkan Allah dalam hadis qudsi berikut:
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
“Siapa yang memusuhi wali-KU, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan. Jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah, maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia gunakan untuk memandang, dan tangannya yang ia gunakan untuk memukul, dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan. Jika ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-Ku, pasti Ku-lindungi. Dan Aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (Shahih al-Bukhari 6021)
• Hal ini pun dimudahkan Allah dengan memperbanyak jenis ibadah dan ketaatan sehingga seorang mukmin bisa menyambung satu ketaatan dengan ketaatan yang lainnya di setiap hari. Tidak mungkin Allah memerintahkan sesuatu yang tidak bisa dilakukan hamba-Nya. Karena itu, Allah menjadikan semua aktivitas seorang mukmin bernilai ibadah, asalkan dia bisa memanajnya dengan niat yang benar dan tidak melakukan maksiat terutama dosa besar.
Dalam kaidah tentang manajemen niat disebutkan:
اَلْعَادَاتُ تَنْقَلِبُ عِبَادَاتٍ بِالنِّيَّاتِ الصَّالِحَاتِ
“Berbagai kebiasaan bisa berubah menjadi ibadah dengan niat-niat yang baik”.
• Olahraga yang merupakan kebiasaan, bila dimanaj dengan niat yang baik dan benar bisa bernilai ibadah. Makan dan minum bila dilandasi niat yang baik dan benar bisa bernilai ibadah. Bahkan memenuhi kebutuhan biologis suami-istri, bila dilakukan dengan niat yang baik dan benar bisa bernilai ibadah dan berpahala.
c- Saleh Batinnya dan Istiqamah Lahiriyahnya.
• Istiqamah lahiriyah menjadi cermin kesalehan batin. Seorang wali Allah tidak mengalami split personality (kepribadian yang terbelah), yakni lahiriyah buruk dengan dalih batinnya saleh. Karena lahiriyah yang buruk mengimbas pada batinnya sehingga bisa merusak kesalehan batinnya lalu menjadi orang yang tidak saleh lahir batin. Karena itu, salah satu ukuruan kewalian adalah istiqamah (konsistensi) lahiriyah dalam menegakkan dan membela kebenaran. Sabda Nabi saw:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Senantiasa ada sekelompok ummatku yang tetap tegak (berjuang) di atas kebenaran, tidak akan membahayakannya orang yang memusuhinya hingga hari Kiamat sedangkan mereka tetap seperti itu.” (Shahih Muslim 3544)
• Para wali Allah punya keteguhan dalam membela agama Allah, karena mereka mendapat derajat kewalian justru karena pembelaan mereka kepada agama Allah. Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
d- Saling Menguatkan dan Saling Mendukung Dalam Perjuangan Menegakkan Islam.
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah: 71)
• Para wali Allah selalu berusaha menjadi anasir perekat umat agar tercapai kekuatan dan persatuan umat dalam menghadapi upaya-upaya musuh yang selalu berusaha dengan segala cara melemahkan dan memecahbelah kekuatan umat.
• Karena itu, dalam melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, mereka selalu memperhatikan aspek soliditas umat ini. Mereka berlapang dada dalam menyikapi berbagai perbedaan pemahaman masalah-masalah furu’iyah yang memang tidak bisa disatukan dan disamakan. Mereka tidak memaksakan pendapatnya tetapi menyampaikannya dengan cara yang arif, memberikan waktu yang cukup kepada orang lain untuk berproses dan berubah, dan memberikan wawasan yang luas dan luwes, bahkan bila tidak ditemukan titik kesamaan maka mereka tetap bisa bekerjasama menyangkut hal-hal yang disepakati dan saling menoleransi menyangkut hal-hal yang diperselisihkan. Hal-hal yang disepakati dalam Islam ini lebih banyak dari hal-hal yang diperselisihkan. Karena para wali Allah harus bisa hidup bersama kaum muslimin lainnya dan mengarahkan mereka secara pelan-pelan dan bertahap mencapai pemahaman yang benar tentang Islam.
Buah Kewalian
Sebagaimana ketakwaan memiliki banyak buah dalam kehidupan, demikian pula kewalian juga membuahkan banyak kebaikan dalam kehidupan, diantaranya:
a- Mendapat Arahan Allah Dalam Semua Sikapnya.
• Karena kecintaan dan kedekatannya dengan Allah maka Allah selalu mengarahkan semua sikapnya dalam kehidupan sehingga selalu tepat, efektif, efisien dan produktif dalam kebaikan. Tidak terjebak dalam kesalahan yang fatal sehingga menjauhkannya dari orang-orang saleh, kebaikan dan dakwah. Hal ini sebagaimana disampaikan Nabi dalam sabdanya di atas:
فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا ُ
“Jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia gunakan untuk memandang, dan tangannya yang ia gunakan untuk memukul, dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan.” (Bukhari)
b- Doanya Dikabulkan Allah.
وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
“Jika ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-Ku, pasti Ku-lindungi.” (Bukhari)
c- Sangat Disayangi Allah
Para wali Allah sangat disayangi Allah sehingga Allah tidak ingin menyakitinya. Bahkan saat para malaikat mencabut nyawanya, Allah mengungkapkan rasa sayang-Nya:
وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
“Dan Aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (Shahih al-Bukhari 6021)
• Karena itu, hendakya manusia berhati-hati dan tidak menyakiti hati orang-orang saleh karena Allah pasti membela mereka. Allah menegaskan bahwa orang-orang saleh atau para wali Allah ini berada dalam perlindungan dan pembelaan-Nya:
إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
“Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (QS. al-A’raf: 196)
d- Mendapat Karamah.
• Sekalipun tidak menjadi syarat kewalian, sebagian wali Allah mendapat karamah dari Allah dan sebagian yang lain tidak mendapat karamah atau mendapatkannya tetapi dalam bentuk lain yang tidak diketahui manusia bahkan tidak diketahui oleh orang yang mendapatkannya.
• Diantara wali Allah yang mendapat karamah adalah Uwais al-Qarni dan Abu Muslim al-Khaulani, keduanya wali Allah di kalangan generasi tabi’in. Berikut ini kisah kedua wali Allah yang menjadi tokoh generasi tabi’in tersebut:
Uwais al-Qarni
“Dari Usair bin Jabir dia berkata: “Ketika Umar bin Khaththab ra didatangi oleh rombongan orang-orang Yaman, ia selalu bertanya kepada mereka: ‘Apakah Uwais bin Amir dalam rombongan kalian? ‘ Hingga pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab bertemu dengan Uwais seraya bertanya: ‘Apakah kamu Uwais bin Amir? ‘ Uwais menjawab: ‘Ya. Benar saya adalah Uwais.’ Khalifah Umar bertanya lagi: ‘Kamu berasal dari Murad kemudian dari Qaran? ‘ Uwais menjawab: ‘Ya benar.’ Selanjutnya Khalifah Umar bertanya lagi: ‘Apakah kamu pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sebesar mata uang dirham pada dirimu? ‘ Uwais menjawab: ‘Ya benar.’ Khalifah Umar bertanya lagi: ‘Apakah ibumu masih ada? ‘ Uwais menjawab: ‘Ya, ibu saya masih ada.’ Khalifah Umar bin Khaththab berkata: ‘Hai Uwais, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Uwais bin Amir akan datang kepadamu bersama rombongan orang-orang Yaman yang berasal dari Murad kemudian dari Qaran. Ia pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sebesar uang dirham. Ibunya masih hidup dan ia selalu berbakti kepadanya. Jika ia bersumpah atas nama Allah pasti sumpahnya dikabulkan. Karena itu, jika kamu dapat memohon agar dia memohonkan ampunan untuk kalian, lakukanlah! ‘ Oleh karena itu hai Uwais, mohonkanlah ampunan untukku! ‘ Lalu Uwais pun memohonkan ampunan untuk Umar bin Khaththab. Setelah itu, Khalifah Umar bertanya kepada Uwais: ‘Hendak pergi kemana kamu hai Uwais? ‘ Uwais bin Amir menjawab: ‘Saya hendak pergi ke Kufah wahai Amirul mukminin.’ Khalifah Umar berkata lagi: ‘Apakah aku perlu membuatkan surat khusus kepada pejabat Kufah? ‘Uwais bin Amir menjawab: ‘Saya Iebih senang berada bersama rakyat jelata wahai Amirul mukminin.’
Usair bin Jabir berkata: ‘Pada tahun berikutnya, seorang pejabat tinggi Kufah pergi melaksanakan ibadah haji ke Makkah. Selesai melaksanakan ibadah haji, ia pun pergi mengunjungi Khalifah Umar bin Khaththab. Lalu Khalifah pun menanyakan tentang berita Uwais kepadanya. Pejabat itu menjawab: ‘Saya membiarkan Uwais tinggal di rumah tua dan hidup dalam kondisi yang sangat sederhana.’ Umar bin Khaththab berkata: ‘Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Kelak Uwais bin Amir akan datang kepadamu bersama rombongan orang-orang Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qaran. Ia pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sebesar mata uang dirham. Jika ia bersumpah dengan nama Allah, pasti sumpahnya dikabulkan. Jika kamu dapat meminta agar ia berkenan memohonkan ampunan untukmu, maka laksanakanlah! ‘ Setelah itu, pejabat Kufah tersebut Iangsung menemui Uwais dan berkata kepadanya: ‘Wahai Uwais, mohonkanlah ampunan untukku! ‘ Uwais bin Amir dengan perasaan heran menjawab: ‘Bukankah engkau baru saja pulang dari perjalanan suci, ibadah haji di Makkah? Seharusnya engkau yang memohonkan ampunan untuk saya.’ Pejabat tersebut tetap bersikeras dan berkata: ‘Mohonkanlah ampunan untukku hai Uwais? ‘ Uwais bin Amir pun menjawab: ‘Engkau baru pulang dari ibadah haji, maka engkau yang Iebih pantas mendoakan saya.’ Kemudian Uwais balik bertanya kepada pejabat itu: ‘Apakah engkau telah bertemu dengan Khalifah Umar bin Khaththab di Madinah? ‘ Pejabat Kufah itu menjawab: ‘Ya. Aku telah bertemu dengannya.’ Akhirnya Uwais pun memohonkan ampun untuk pejabat Kufah tersebut. Setelah itu, Uwais dikenal oleh masyarakat luas, tetapi ia sendiri tidak berubah hidupnya dan tetap seperti semula. Usair berkata: ‘Maka aku memberikan Uwais sehelai selendang yang indah, hingga setiap kali orang yang melihatnya pasti akan bertanya: ‘Dari mana Uwais memperoleh selendang itu? ‘” (Shahih Muslim 4613)
Abu Muslim al-Khaulani
Abu Muslim Abdullah bin Tsaub al-Khaulani, atau dikenal dengan nama Abu Muslim al-Khaulani berasal dari Yaman. Ia masuk Islam di masa Nabi saw tetapi tidak sempat bertemu Nabi saw karena tetap tinggal di Yaman melakukan dakwah Islam di kalangan penduduknya. Ia seorang tokoh tabi’in yang zuhud dan baru masuk Madinah di masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra.
Di masanya muncul seorang pendusta bernama al-Aswad al-Ansi yang mengaku sebagai Nabi di Yaman. Pendusta ini memanggil Abu Muslim al-Khaulani setelah menyiapkan api besar untuk melemparkannya ke dalam api bila tidak mau memperturutkan keinginannya. Nabi palsu ini mendapat “nasehat” dari para pengawalnya, jika Abu Muslim al-Khaulani tidak dilenyapkan maka dia akan merusak keyakinan para pengikutmu.
Al-Aswad al-Ansi: Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?
Abu Muslim: Ya.
Al-Aswad al-Ansi: Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah Rasul Allah?
Abu Muslim: Saya tidak mendengar.
Al-Aswad al-Ansi: Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?
Abu Muslim: Ya.
Al-Aswad al-Ansi: Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah Rasul Allah?
Abu Muslim: Saya tidak mendengar.
Kemudian Nabi palsu ini memerintahkan agar Abu Muslim dilemparkan ke dalam api besar yang telah disiapkannya, tetapi api itu tidak bisa membakarnya. Para pengawal nabi palsu ini pun menyarankan agar Abu Muslim dibiarkan pergi keluar dari Yaman karena bisa merusak keyakinan para pengikutnya. Kemudian al-Aswad al-Ansi memerintahkan Abu Muslim al-Khaulani pergi meninggalkan Yaman. Kemudian Abu Muslim pergi ke Madinah.
Sesampainya di Madinah, Rasulullah saw telah wafat dan Abu Bakar ra telah diangkat menjadi Khalifah. Abu Muslim pun masuk masjid Nabawi lalu shalat di salah satu tiang masjid. Umar bin Khatab ra melihat dan mengamati Abu Muslim al-Khaulani lalu bertanya: Dari mana kamu?
Abu Muslim menjawab: Dari Yaman.
Umar ra: Apa yang dilakukan oleh musuh Allah terhadap sahabat kami yang dibakar dengan api tetapi tidak bisa membakarnya?
Abu Muslim menjawab: Itu adalah Abdullah bin Tsaub.
Umar ra: Aku minta dengan nama Allah, kamukah orang itu?
Abu Muslim: Ya.
Kemudian Umar ra mencium keningnya lalu membawanya bertemu Abu Bakar ra dan mendudukkannya di hadapan Abu Bakar ra. Kemudian Abu Muslim al-Khaulani berkata: “Segala puji bagi Allah yang tidak mematikanku hingga memperlihatkanku di tengah umat Muhammad sebagai orang yang diperlakukan seperti Nabi Ibrahim kekasih Allah diperlakukan.”
Wali Setan
Al-Quran juga menyebutkan adanya wali setan (al-Baqarah: 257). Yaitu orang yang telah dikuasai setan hingga banyak melakukan dosa, menjadi pendusta, mudah dikelabui dan dibisiki setan. Firman Allah:
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ
“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta”. (asy-Syu’ara’: 221-223)
• Bila wali Allah mendapat karamah dari Allah, maka wali setan mendapat bisikan-bisikan yang menyesatkan dari setan bahkan kadang setan menemuinya dalam bentuk manusia lalu berkata kepadanya: “Saya Khidhir”, lalu menyampaikan hal-hal yang aneh dan bertentangan dengan ajaran Islam. Setan melakukan ini kepada walinya agar dia pada gilirannya bisa menyesatkan banyak orang yang memercayainya dengan hal-hal yang bertentangan ajaran Islam.
• Agar tidak mudah terkecoh oleh wali setan, pahamilah dan laksanakanlah ajaran-ajaran Islam dengan baik dan benar. Karena pemahaman dan pengamalan Islam ini akan memberikan imunitas keislaman dan keimanan sehingga tidak mudah diperdaya oleh wali setan sekalipun dia mengaku “wali Allah” dan bisa menunjukkan “hal-hal aneh” seperti bisa berjalan di atas air atau terbang atau mengaku mengetahui hal yang ghaib. Semoga Allah senantiasa menjaga kita semua dari tipu daya setan dan para walinya.