Oleh: KH. Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Lc
نظرت الى الابواب فوجدتها كلها مزدحمة فنظرت الى باب الحب فلم اجد عليه الا الواحد بعد الواحد فدخلت منه
“Saya melihat ke pintu-pintu lalu saya dapati semuanya padat kemudian saya melihat ke pintu cinta lalu saya dapati tidak banyak orang kemudian saya masuk darinya”.
• Ini adalah perkataan syaikh Abdul Qadir al-Jilani atau al-Jailani. Ia mengingatkan bahwa jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah itu sangat banyak sebagaimana disebutkan Allah dalam al-Quran. Sebagian orang menyebutkan bahwa jalan menuju Allah ini sebanyak bilangan nafas makhluk-Nya. Yakni, semua hal dan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ini bisa menjadi jalan dan sebab yang menyadarkan orang untuk mengingat Allah.
• Syaikh Abdul Qadir al-Jailani benar dengan perkataannya di atas. Pintu shalat “penuh sesak”. Orang yang melaksanakan shalat banyak memadati masjid-masjid. Alhamdulillah.
• Pintu puasa juga “penuh sesak”. Semua Muslim berpuasa di bulan Ramadhan, kecuali sebagian kecil yang tidak melaksanakannya karena belum menyadari kewajibannya.
• Apalagi pintu haji. Sekarang ini orang yang mendaftar untuk melaksanakan ibadah haji harus mengantri dan menunggu duapuluh tahun di sebagian daerah.
• Alhamdulillah semuanya harus disyukuri. Semoga bisa menjaga semangat ibadah kaum Muslimin dan menjadi syi’ar agama yang menggerakkan manusia untuk meningkatkan ibadah dan ubudiyah mereka kepada Allah.
• Tetapi ada satu jalan ibadah yang dilupakan banyak orang, yaitu “jalan cinta”. Yakni beribadah atas dasar dan dorongan cinta kepada Allah. Ada beberapa ayat al-Quran dan hadis Nabi saw yang menjadi landasan jalan cinta ini, diantaranya:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali Imran: 31)
• Ayat ini secara tegas memerintahkan kita mengingikuti Nabi saw sebagai wujud cinta kita kepada Allah. Atau dengan bahasa lain, mengikuti Nabi saw atas dasar cinta kepada Allah.
Sabda Nabi saw:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman seseorang selama belum mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”. (Shahih al-Bukhari 12)
• Ibadah karena cinta kepada Allah perlu dihadirkan karena bisa menjadi energi yang besar dalam melakukan berbagai ibadah dan kebaikan, disamping bisa menjaga keikhlasan. Orang yang beribadah atau beramal karena cinta kepada Allah dan berharap cinta-Nya semata adalah orang yang ikhlas. Termasuk “lillah”, karena Allah.
• Orang yang melaksanakan ibadah shalat dengan energi cinta kepada Allah bisa berlama-lama dalam melakukannya disamping bisa menikmatinya. Berbeda dengan orang yang melaksanakan ibadah shalat sekedar untuk menunaikan kewajiban tanpa disertai rasa cinta dalam melaksanakannya. Karena cinta melibatkan rasa dan kesadaran hati, bukan semata pikiran.
• Itu sebabnya ada orang yang bisa melakukan shalat tahajjud di tengah malam dengan raka’at dan bacaan ayat yang panjang tanpa merasa berat, bahkan menikmatinya, karena ia melakukannya dengan energi cinta kepada Allah.
• Di sisi lain ada orang yang tidak bisa berlama-lama melakukan shalat, termasuk shalat fardhu sekalipun, bahkan menggerutu bila imam shalat membaca ayat yang agak panjang. Karena di dalam hatinya belum tumbuh kesadaran untuk mengikuti perintah shalat karena cinta kepada Allah atau cinta kepada ibadah shalat itu sendiri.
• Demikian pula dalam melakukan ibadah sosial, membantu orang lain. Hadis Nabi saw di atas mengajarkan berbuat baik kepada saudara dengan berbasiskan cinta. Karena cinta kepada Allah bisa menjadi energi untuk terus berbagi sekalipun tidak mendapat balasan dari orang, karena ia melakukannya semata karena dorongan cinta kepada Allah dan berharap pahala dan cinta-Nya.
• Dalam salah satu ayat-Nya, Allah menyebutkan adanya ibadah cinta bahkan ibadah cinta ini menjadi bukti kesempurnaan iman seseorang kepada-Nya:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS. Ali Imran: 92)
• Sebagian ahli tafsir mengartikan kata “الْبِرَّ” dengan surga atau ketaatan, sehingga bermakna: Kamu sekali-kali tidak akan masuk surga, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Atau: Kamu sekali-kali tidak akan mencapai ketaatan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.
• Kalimat “مِمَّا تُحِبُّونَ” (“dari sebagian apa yang kamu cintai”) bersifat umum, meliputi harta, jiwa, raga, jabatan, waktu dan lainya. Hal ini agar semua orang berkesempatan bisa melakukan “ibadah cinta” ini, tidak hanya terbatas dengan harta karena tidak semua orang punya harta. Waktu, bagi sebagian orang, juga sangat berharga dan sangat dicintai karena dengan waktu bisa menghasilkan banyak hal. Apalagi jika waktu yang sangat berharga itu sebagiannya dimanfaatkan untuk mempelajai Islam dan berdakwah. Atau jabatan dan kedudukan yang sangat dicintai itu sebagiannya digunakan untuk membela Islam dan kaum Muslimin.
• Ibadah dan energi cinta inilah yang membuat Abu Thalhah ra merasa ringan menginfaqkan kebun yang sangat dicintainya.
عن أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
كَانَ أَبُو طَلْحَةَ أَكْثَرَ الْأَنْصَارِ بِالْمَدِينَةِ مَالًا مِنْ نَخْلٍ وَكَانَ أَحَبُّ أَمْوَالِهِ إِلَيْهِ بَيْرُحَاءَ وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيهَا طَيِّبٍ قَالَ أَنَسٌ فَلَمَّا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ
{ لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ }
قَامَ أَبُو طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ
{ لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ }
وَإِنَّ أَحَبَّ أَمْوَالِي إِلَيَّ بَيْرُحَاءَ وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ لِلَّهِ أَرْجُو بِرَّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللَّهِ فَضَعْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ حَيْثُ أَرَاكَ اللَّهُ قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَخٍ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي الْأَقْرَبِينَ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ أَفْعَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَسَمَهَا أَبُو طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ
“Dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata:
Abu Thalhah adalah orang yang paling banyak hartanya dari kalangan Anshar di kota Madinah berupa kebun pohon kurma. Harta benda yang paling dicintainya adalah Bairuha’ (sumur yang ada di kebun itu) yang menghadap ke masjid dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering memasuki kebun itu dan meminum airnya yang baik tersebut. Berkata Anas ra: Ketika turun ayat ini: {Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai}. (Ali ‘Imran: 92), Abu Thalhah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala telah berfirman: {Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai}, dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairuha’ itu dan aku menshadaqahkannya di jalan Allah dengan berharap kebaikan dan simpanan pahala di sisi-Nya, maka ambillah wahai Rasulullah sebagaimana petunjuk Allah kepadamu”. Dia (Anas) berkata: Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wah, inilah harta yang menguntungkan, inilah harta yang menguntungkan. Sungguh aku sudah mendengar apa yang kamu niatkan dan aku berpendapat sebaiknya kamu shadaqahkan untuk kerabatmu”. Maka Abu Thalhah berkata: “Aku akan laksanakan wahai Rasulullah. Maka Abu Thalhah membagi untuk kerabatnya dan anak-anak pamannya”. (Shahih al-Bukhari 1368).