Tanya Jawab Ringkas Tentang I’tikaf

Narasumber : Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS

I’tikaf itu apa?

Secara bahasa artinya luzumusy syai’, artinya menetap pada sesuatu.

Ada pun secara syariat, artinya:

والمقصود به هنا لزوم المسجد والاقامة فيه بنية التقرب إلى الله عزوجل.

Yang dimaksud I’tikaf di sini adalah menetapi masjid dan tinggal di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Apa hukumnya?

Hukumnya sunnah, tidak wajib, dan tidak ada beda pendapat tentang hal itu.

وقد وقع الإجماع على أنه ليس بواجب ، وعلى أنه لا يكون إلا في مسجد

Telah terjadi ijma’ bahwa I’tikaf bukan kewajiban, dan dia tidak bisa dilaksanakan kecuali di masjid. (Fathul Qadir, 1/245)

Kecuali jika i’tikafnya didasari oleh nadzar oleh seseorang, maka itu menjadi wajib baginya. (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Apa keutamaannya?

Tidak ada hadits shahih dan Hasan yang menceritakannya. Namun, apa yang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalukan yaitu selalu i’tikaf di setiap Ramadhan, bahkan di akhir hayatnya i’tikaf 20 hari, itu sudah cukup menunjukkan keutamaannya.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menulis sbb:

قال أبوداود: قلت لاحمد رحمه الله: تعرف في فضل الاعتكاف شيئا؟ قال: لا، إلا شيئا ضعيفا.

Berkata Abu Daud: Saya berkata kepada Ahmad Rahimahullah: “Apakah engkau mengatahui tentang keutamaan I’tikaf?” Beliau berkata: “Tidak, kecuali suatu riwayat yang dhaif.” (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Apa saja syaratnya?

Syaratnya: muslim, mumayyiz, dan suci dari hadats besar. Mumayyiz, menurut jumhur ulama adalah usia 7 tahun ke atas. Untuk mendidik boleh saja bocah ikut i’tikaf asalkan tidak membuat kegaduhan.

ويشترط في المعتكف أن يكون مسلما، مميزا طاهرا من الجنابة والحيض والنفاس، فلا يصح من كافر ولا صبي غير مميز ولاجنب ولاحائض ولا نفساء.

Syarat bagi orang yang beri’tikaf adalah: muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan salah benar, baik buruk), suci dari junub, haid, dan nifas, tidak sah jika kafir, anak-anak yang belum mumayyiz, junub, haid, dan nifas. (Fiqhus Sunnah, 1/477)

Apa saja rukunnya?

Rukun i’tikaf ada dua: menetap di masjid, dan berniat untuk pendekatan diri kepada Allah.

أركانه: حقيقة الاعتكاف المكث في المسجد بنية التقرب إلى الله تعالى، فلو لم يقع المكث في المسجد أو لم تحدث نية الطاعة لا ينعقد الاعتكاف.

Rukun-rukunnya: hakikat dari I’tikaf adalah tinggal di masjid dengan niat taqarrub ilallah Ta’ala. Seandainya tidak menetap di masjid atau tidak ada niat melaksanakan ketaatan, maka tidak sah disebut i’tikaf. (Ibid)

Wanita boleh i’tikaf?

Ya, sama seperti kaum laki-laki. Dari ‘Aisyah Radiallahu ‘Anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Apakah ada ketentuan khusus bagi kaum wanita?

Ya, hendaknya mereka izin kepada wali atau suaminya, serta kondisi masjidnya kondusif buat i’tikaf kaum wanita. Syaikh al Albani mengatakan:

وفيه دليل على جواز اعتكاف النساء أيضا ولا شك أن ذلك مقيد بإذن أوليائهن بذلك وأمن الفتنة والخلوة مع الرجال للأدلة الكثيرة في ذلك والقاعدة الفقهية : درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya I’tikaf bagi wanita juga, dan tidak ragu bahwa kebolehan itu terikat dengan izin para walinya, atau aman dari fitnah, dan aman dari berduaan dengan laki-laki lantaran banyak dalil yang menunjukkan hal itu, juga kaidah fiqih: menolak kerusakan lebih diutamakan dibanding mengambil maslahat. (Qiyam Ramadhan, Hal. 35)

Bolehkah i’tikaf selain di masjid?

Salah satu rukun i’tikaf adlh berdiam di masjid. Ini sesuai dengan Al Baqarah: 187, dan perilaku Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ini disepakati oleh empat mazhab, bagi kaum laki-laki. Ada pun bagi kaum wanita, mayoritas ulama mengatakan juga di masjid, kecuali hanafiyah yang mengatakan i’tikafnya wanita adalah di tempat ibadahnya di rumah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/213)

Masjid Seperti Apa?

Al Hafizh Ibnu Hajar menyebut ada lima pendapat:

1. Hanya sah di masjid jami’ (masjid yang dipakai untuk shalat Jumat dan shalat 5 waktu). Ini pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur, Malik, dll.

2. Sah di semua masjid, baik masjid jami’ atau masjid ghairu jami’ (mushalla, surau). Ini pendapat MAYORITAS. Juga diikuti Asy Syafi’i, Daud azh Zhahiri, Al Bukhari, dll.

3. Hanya sah di tiga masjid: masjid al haram, masjid nabawi, dan masjid al aqsha. Pendapat Huzaifah bin Yaman.

4. Hanya sah di masjid al haram dan masjid nabawi. Pendapat Atha’.

5. Hanya sah Di masjid nabawi saja. Pendapat Said bin al Musayyab.

(Fathul Bari, 4/272)

Bolehkah i’tikaf di luar bulan Ramadhan?

Para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa berpuasa di bulan Ramadhan bukan syarat sahnya i’tikaf. Seperti pendapat Ali, Ibnu Mas’ud, Hasan al Bashri, Asy Syafi’i, dan lainnya. Dahulu Umar bin Khathab nadzar i’tikaf di malam hari di masjid al haram. Tentunya malam hari tidak ada puasa.

Sementara Aisyah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Said bin al Musayyab, Urwah bin Zubeir, Az Zuhri, Malik, Abu Hanifah, mengatakan i’tikaf tidak sah jika tanpa puasa. (Fiqhus Sunnah, 1/478-479)

Pembatal-Pembatal I’tikaf apa saja?

Pembatal-pembatal tersebut antara lain:

1. Secara sengaja Keluar dari masjid tanpa ada keperluan walau sebentar
2. Murtad
3. Hilang akal
4. Gila
5. Mabuk
6. Jima’ (hubungan badan). (Lihat semua dalam Fiqhus Sunnah, 1/481-483)

Aktivitas yang dibolehkan saat I’tikaf

Berikut ini aktifitas yang diperbolehkan selama I’tikaf (diringkas dari Fiqhus Sunnah ):

1. Tawdi’ (melepas keluarga yang mengantar), sebagaimana yang nabi lakukan terhadap Shafiyyah

2. Menyisir dan mencukur rambut, sebagaimana yang ‘Aisyah lakukan terhadap nabi

3. Keluar untuk memenuhi hajat manusiawi, seperti buang hajat

4. Makan, minum, dan tidur ketika I’tikaf di masjid, atau mencuci pakaian, membersihkan najis, dan perbuatan lain yang tidak mungkin dilakukan di masjid.

Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, dan shalat jumat bagi yang I’tikafnya di masjid ghairu jami’, antara yang membolehkan dan yang mengatakan batal I’tikafnya. Wallahu A’lam

Kajian-kajian saat i’tikaf

Sebagian ulama memakruhkan hal itu sebab bisa menganggu i’tikaf. Sebagian lain mengatakan hal itu boleh, sebab majelis ilmu itu bagian dari dzikir. Hanya saja jangan sering-sering.

Dalam Syarhul Mumti’:

لا شك أن طلب العلم من طاعة الله، لكن الاعتكاف يكون للطاعات الخاصة، كالصلاة، والذكر، وقراءة القرآن، وما أشبه ذلك، ولا بأس أن يَحضر المعتكف درساً أو درسين في يوم أو ليلة؛ لأن هذا لا يؤثر على الاعتكاف، لكن مجالس العلم إن دامت، وصار يطالع دروسه، ويحضر الجلسات الكثيرة التي تشغله عن العبادة الخاصة، فهذا لا شك أن في اعتكافه نقصاً، ولا أقول إن هذا ينافي الاعتكاف.

“Tidak ragu bahwa menuntut ilmu termasuk ketaatan kepada Allah, tetapi i’tikaf terdapat ketaatan khusus, seperti shalat, dzikir, membaca Al Quran, dan yang serupa itu. Tidak apa-apa mu’takif menghadiri satu pelajaran atau dua dalam sehari atau malam, sebab itu tidak mempengaruhi I’tikafnya, tetapi jika majelis ilmu diadakan terus menerus, akan membuatnya mengkaji materinya, menghadiri berbagai majelis yang memalingkannya dari ibadah khusus, ini tidak ragu lagi membuat I’tikafnya berkurang, di sini saya tidak katakan menganulir I’tikafnya.”

(Lihat semua dalam Syarhul Mumti’, 6/163)

Hikmah dan pelajaran i’tikaf

– Menegaskan kembali posisi Masjid sebagai sentral pembinaan umat
– Sesibuk apa pun seorang muslim harus menyediakan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala secara fokus dan totalitas
– Hidup di dunia hanya persinggahan untuk menuju keabadian akhirat selesai. Wallahu A’lam.