Sanjungan Penuh Kebohongan

Oleh: KH. Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Lc

لَا  تَحْسَبَنَّ  الَّذِيْنَ  يَفْرَحُوْنَ  بِمَاۤ  اَتَوْا  وَّيُحِبُّوْنَ  اَنْ  يُّحْمَدُوْا  بِمَا  لَمْ  يَفْعَلُوْا  فَلَا  تَحْسَبَنَّهُمْ  بِمَفَا زَةٍ  مِّنَ  الْعَذَا بِ   ۚ وَلَهُمْ  عَذَا بٌ  اَ  لِيْمٌ

“Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang pedih.” (QS. Ali ‘Imran: 188)

• Ayat ini menginformasikan adanya tipe manusia yang menyukai pujian kepada dirinya atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Alias pujian atau sanjungan yang direkayasa dan tidak sesuai kenyataan. Orang seperti ini terancam siksa pedih di akhirat, sebagaimana disampaikan ayat di atas, karena melakukan kebohongan dan membuat banyak orang tertipu dengan pujian palsu tersebut.

• Bila orang yang dipuji dan yang memuji sama-sama tahu bahwa pujian tersebut tidak sesuai fakta sebenarnya maka keduanya, orang yang dipuji dan yang memuji, sama statusnya, terancam siksa pedih karena melakukan kebohongan publik.

• Dalam Islam ada dua jenis pujian atau sanjungan:

• Pertama, sanjungan yang dibolehkan. Yaitu sanjungan atau pujian sesuai fakta sebenarnya dan tidak berlebihan hingga membuat orang yang dipuji menjadi rusak, seperti sombong dan lupa diri.

• Pujian atau sanjungan dibolehkan apabila membuat orang yang dipuji atau disanjung makin bersemangat meningkatkan amal saleh atau ibadah dan memperbaiki diri. Seperti pujian atau sanjungan Nabi saw kepada Abdullah bin Umar ra:

نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فَكَانَ بَعْدُ لَا يَنَامُ مِنْ اللَّيْلِ إِلَّا قَلِيلًا

“Sungguh ‘Abdullah (bin Umar) adalah sebaik-baik orang, bila dia melakukan shalat malam”. Setelah mendengar ini ‘Abdullah bin ‘Umar tidak tidur malam kecuali sedikit. (Shahih al-Bukhari 1054)

• Kedua, sanjungan yang tercela. Yaitu sanjungan yang berlebihan dan penuh kebohongan sehingga membuat orang yang dipuji makin rusak, makin sombong, makin zalim dan tidak menyadari kesalahan atau kezalimannya.

•Nabi saw melarang menyanjung secara berlebihan karena bisa merusak orang yang memuji dan yang dipuji, terutama bila orang yang dipuji termasuk orang yang gila pujian. Sabda Nabi saw:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَاكُمْ وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah, dan janganlah kalian tertipu oleh tipu daya setan, saya Muhammad bin Abdullah, hamba Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, saya tidak senang kalian mengangkat diriku lebih di atas derajat yang telah Allah ‘azza wajalla berikan kepadaku.” (Musnad Ahmad 12093)

• Pujian atau sanjungan tercela dan terlarang bila tidak jujur, disertai kemunafikan, untuk menjilat dan mendapatkan sesuatu, baik berupa jabatan, kepentingan pribadi atau materi duniawi.

• Nabi saw bersabda, memperingatkan orang yang suka memuji secara tidak benar:

إِذَا رَأَيْتُمْ الْمَدَّاحِينَ فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمْ التُّرَابَ

“Bila kalian melihat orang-orang yang suka memuji, maka taburkanlah tanah di wajahnya.” (Muslim 5323)

• Imam al-Auza’i mengajarkan, bila ada seseorang yang memuji orang lain di hadapannya hendaklah dia mengatakan: “Ya Allah, Engkau lebih mengetahui tentang diriku daripada aku sendiri sedangkan aku lebih tahu tentang diriku daripada orang-orang. Ya Allah, janganlah Engkau menghukumku karena apa yang mereka katakan dan ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui”.

• Ibnu Hazm menyebutkan beberapa tingkatan akhlak manusia dalam masalah ini:

1- Orang yang suka memuji di hadapan orang dan mencela di belakangnya. Ini sifat orang munafik yang suka mencela.

2- Orang yang suka mencela di hadapan orang dan di belakang. Ini sifat orang yang buruk lisannya di kalangan para pencela.

3- Orang yang suka memuji di hadapan orang dan di belakangnya. Ini sifat orang yang suka mencari muka dan ambisius.

4- Orang yang suka mencela di hadapan orang dan memuji di belakangnya. Ini sifat orang lemah dam bodoh.

5- Orang yang menahan diri dari memuji dan mencela di hadapan orangnya dan memuji karena suatu kebaikan di belakang atau menahan diri dari mencela. Ini sifat orang yang memiliki keutamaan.

6- Para pencela yang terhindar dari kemunafikan dan keburukan, mereka menahan diri dari mencela di hadapan orang dan mencela di belakang.

7- Orang yang menahan diri dari mencela dan memuji di hadapan orang dan di belakangnya. Mereka ini yang selamat. Semua kategori di atas telah kami saksikan dan kami telah merasakan ujiannya.