Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يطلع الله تبارك و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Allah Ta’ala menampakkan (rahmat) diriNya kepada hambaNya pada malam Nishfu Sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hambaNya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki”
– Status Hadits –
Hadits ini diriwayatkan oleh banyak jalur yang saling menguatkan, yaitu: Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah al Khusyani, Abdullah bin ‘Amr, Abu Musa al Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakar ash Shiddiq, ‘Auf bin Malik, dan Aisyah.
Sehingga dinyatakan SHAHIH oleh para pakar hadits seperti:
– Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Tahqiq Musnad Ahmad, jilid. 5, hal. 98-99, no hadits. 6642. Penerbit: Darul Hadits, Kairo
– Syaikh Syu’aib al Arnauth, Tahqiq Musnad Ahmad, jilid. 11, hal. 216, no hadits. 6642. Penerbit: Muasasah Ar Risalah, 2001
– ٍSyaikh Al Albani, Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, jilid. 3, hal. 135, no hadits. 1144. Penerbit: Maktabah Al Ma’arif, Riyadh. 1995, dengan redaksi: “kecuali orang yang bermusuhan dan musyrik.”
– Dishahihkan pula oleh Dr. Abdul Malik bin Abdullah Ad Duhaisy, dalam Jami’ Al Masanid wa Sunan, No. 9697.
– Kandungan Hadits –
- Hadits ini menunjukkan kemuliaan malam Nishfu Sya’ban, saat itu Allãh Ta’ala menampakkan kasih sayangNya dengan mengampuni semua makhluk, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.
- Walau pada prinsipnya, ampunan dan rahmat Allah Ta’ala tentunya ada disepanjang waktu bukan hanya pada satu hari atau malam. Maka, jika seorang muslim menghidupkan malam itu dengan doa, ibadah, dan membaca Al Quran, baik sendiri atau berjamaah, maka itu bagus.
Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
إذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِي جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَن
“Jika manusia shalat malam nishfu seorang diri atau berjamaah secara khusus, sebagaimana yang dilakukan beberapa golongan salaf, maka itu lebih baik”
(Al Fatawa Al Kubra, 2/262)
Hanya saja beliau menolak menetapkan jumlah atau angka khusus dalam rakaat shalatnya.
Para Salaf mengakui keutamaan malam Nishfu Sya’ban, sebagaimana dikatakan Imam Ibnu Taimiyah juga:
لكن الذي عليه كثير من أهل العلم أو أكثرهم من أصحابنا وغيرهم على تفضيلها وعليه يدل نص أحمد لتعدد الأحاديث الواردة فيها وما يصدق ذلك من الآثار السلفية وقد روى بعض فضائلها في المسانيد والسنن وإن كان قد وضع فيها أشياء أخر
“Tetapi, yang dianut oleh mayoritas ulama atau mayoritas sahabat-sahabat kami (Hambaliyah atau madzhab Hambaliy), dan selain mereka, bahwa malam Nishfu Sya’ban memiliki keutamaan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad. Hal ini berdasarkan banyak hadits dan atsar para salafush shalih. Diriwayatkan sebagian riwayat tentang keutamaan tersebut di kitab-kitab Musnad dan Sunan, namun adanya riwayat palsu pada riwayat tersebut merupakan perkara yang lain”
(Iqtidha Ash Shirath Al Mustaqim, hal. 302)
Syaikh ‘Athiyah Shaqr rahimahullah menyebutkan para imam tabi’in di Syam yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan ibadah di masjid secara berjamaah, dan mereka memandangnya bukan bid’ah. Berikut ini uraiannya:
أنه يستحب إحياؤها جماعة فى المسجد، وكان خالد بن معدان ولقمان ابن عامر وغيرهما يلبسون فيها أحسن ثيابهم ويتبخرون ويكتحلون ويقومون فى المسجد ليلتهم تلك ، ووافقهم إسحاق بن راهويه على ذلك وقال فى قيامها فى المساجد جماعة : ليس ذلك ببدعة، نقله عنه حرب الكرمانى فى مسائله
‘Dianjurkan menghidupkan malam tersebut dengan berjamaah di masjid, Khalid bin Mi’dan dan Luqman bin ‘Amir, dan selainnya, mereka mengenakan pakain bagus, memakai wewangian, bercelak, dan mereka menghidupkan malamnya dengan shalat. Hal ini disepakati oleh Ishaq bin Rahawaih, dia berkata tentang shalat berjamaah pada malam tersebut: “Itu bukan bid’ah!” Hal ini dikutip oleh Harb al Karmani ketika dia bertanya kepadanya tentang ini’
(Fatawa Al Azhar, 10/131)
Ini pun pendapat mayoritas ahli fiqih.
Tertulis dalam Al Mausu’ah:
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى نَدْبِ إِحْيَاءِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ …
‘Mayoritas ahli fiqih menganjurkan menghidupkan (dengan ibadah) malam Nishfu Sya’ban .. (Lalu disebutkan beberapa hadits tentang hal itu)’ (Al Mausu’ah, 2/236)
Bahkan ini dilakukan sudah sejak lama di Masjid al Haram, di masa salaf.
Al Fakihi rahimahullah (wafat 272 H) bercerita:
ذِكْرُ عَمَلِ أَهْلِ مَكَّةَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَاجْتِهَادِهِمْ فِيهَا لِفَضْلِهَا وَأَهْلُ مَكَّةَ فِيمَا مَضَى إِلَى الْيَوْمِ إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، خَرَجَ عَامَّةُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَصَلَّوْا، وَطَافُوا، وَأَحْيَوْا لَيْلَتَهُمْ حَتَّى الصَّبَاحَ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، حَتَّى يَخْتِمُوا الْقُرْآنَ كُلَّهُ، وَيُصَلُّوا، وَمَنْ صَلَّى مِنْهُمْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ مِائَةَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِالْحَمْدُ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ، وَأَخَذُوا مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ، فَشَرِبُوهُ، وَاغْتَسَلُوا بِهِ، وَخَبَّؤُوهُ عِنْدَهُمْ لِلْمَرْضَى، يَبْتَغُونَ بِذَلِكَ الْبَرَكَةَ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ، وَيُرْوَى فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ
‘Amalan penduduk Mekkah pada malam Nishfu Sya’ban dan kesungguhan mereka beribadah karena keutamaan malam tersebut. Penduduk Mekkah dari dulu sampai hari ini, jika datang malam Nishfu Sya’ban, maka mayoritas laki-laki dan perempuan keluar menuju Masjidil Haram, mereka shalat, thawaf, dan menghidupkan malam itu sampai pagi dengan membaca Al Quran di Masjidil Haram sampai mengkhatamkan semuanya, dan mereka shalat, di antara mereka ada yang shalat malam itu 100 rakaat dan pada tiap rakaatnya membaca Al Fatihah dan Al Ikhlas 10 kali, lalu mereka mengambil air zam zam malam itu, lalu meminumnya, mandi dengannya, dan juga menyembuhkan orang sakit dengannya, dalam rangka mencari keberkahan pada malam tersebut’
(Akhbar Makkah, 3/84)
Walau para ulama umumnya mengakui keutamaan malam Nishfu Sya’ban dan anjuran menghidupkannya dengan ibadah, namun sebagian ulama ada yang tidak menyukainya termasuk dikalangan Syafi’iyah. Khususnya dalam hal penentuan jumlah rakaat dan cara cara spesifik lainnya.
Tertulis dalam Al Mausu’ah:
وَبَيَّنَ الْغَزَالِيُّ فِي الإِْحْيَاءِ كَيْفِيَّةً خَاصَّةً لإِِحْيَائِهَا ، وَقَدْ أَنْكَرَ الشَّافِعِيَّةُ تِلْكَ الْكَيْفِيَّةَ 5وَاعْتَبَرُوهَا بِدْعَةً قَبِيحَةً ، وَقَال الثَّوْرِيُّ هَذِهِ الصَّلاَةُ بِدْعَةٌ مَوْضُوعَةٌ قَبِيحَةٌ مُنْكَرَةٌ
‘Imam Al Ghazali menjelaskan tata cara menghidupkan malam itu secara khusus, namun tata cara itu diingkari oleh Syafi’iyah dan menyebutnya sebagai bid’ah yang buruk. Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat tersebut adalah bid’ah, palsu, dan buruk lagi munkar’
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/236)
Hal ini sebagaimana ditegaskan Imam an Nawawi berikut ini:
الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرة ركعة تصلي بين المغرب والعشاء ليلة أول جمعة في رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب واحياء علوم الدين ولا بالحديث المذكور فيهما فان كل ذلك باطل
“Shalat yang sudah dikenal dengan sebutan shalat Ragha’ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, yakni malam awal hari Jumat pada bulan Rajab, dan shalat malam pada nishfu sya’ban seratus rakaat, maka dua shalat ini adalah bid’ah munkar yang buruk, janganlah terkecoh karena keduanya disebutkan dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya Ulumuddin , dan tidak ada satu pun hadits yang menyebutkan dua shalat ini, maka semuanya adalah batil”
(Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/56)
Wal hasil, para salaf sepakat keutamaan malam Nishfu Sya’ban dan menghidupkannya dengan ibadah. Tetapi, mereka berbeda pendapat dalam hal hai’ah (bentuk) dan tata caranya. Tentunya kaum muslimin hendaknya berlapang dada atas perbedaan ini sebagaimana menyikapi perbedaan persoalan fiqih lainnya.
Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah mengatakan:
إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.
(Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133)
Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang orang yang shalat Ba’diyah Ashar, Beliau Rahimahullah menjawab:
لا نفعله ولا نعيب فاعله
Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.
(Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802)
Demikian. Wallahu A’lam