Khaizuran (Ibu Negara Khilafah Abbasiyah)

Oleh: KH Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc

• Khaizuran termasuk salah satu wanita Arab yang berhasil mengukir namanya dalam sejarah.

• Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang asalnya. Sebagian mereka mengatakan berasal dari Yaman. Sebagian yang lain mengatakan dari Maroko.

• Yang pasti ia seorang budak beliau cantik dan cerdas yang ada di istana khilafah Abbasiyah di masa al-Manshur lalu dinikahi oleh salah seorang putra mahkota, al-Mahdi.

• Ketika suaminya menjadi khalifah, Khaizuran punya peran besar dan menentukan dalam kebijakan-kebijakan pemerintahan. Bahkan ia ikut dalam beberapa kali pertemuan “kabinet”.

• Ia punya dua putra, Musa Al-Hadi dan Harun al-Rasyid. Ia berhasil memengaruhi suaminya untuk mengangkat kedua anaknya menjadi putra mahkota. Sekalipun ia lebih mencintai dan mengutamakan Harun al-Rasyid.

• Ketika menggantikan ayahnya menjadi khalifah, Musa al-Hadi sering berselisih pendapat dengan ibunya dan tidak menyukai intervensi yang dilakukannya. Perseteruan ini makin panas hingga al-Hadi berencana menggeser Harun al-Rasyid, putra kesayangan ibunya, dari putra mahkota. Belum sempat melaksanakan rencananya, al-Hadi sudah meninggal dunia. Sebagian penulis sejarah berspekulasi bahwa ia meninggal diracun ibunya melalui makanan yang diberikan saat sakitnya.

• Di masa Harun al-Rasyid menjadi khalifah, Khaizuran berkuasa penuh dalam menentukan para pejabat negara dan mengendalikan pemerintahan, sampai mendapat julukan “ibu negara khilafah Abbasiyah”.

• Harun al-Rasyid tidak ingin terlibat konflik dengan ibunya sehingga lebih banyak diam sambil mengamati semua sepak terjang dan intervensinya.

• Harun al-Rasyid makin tidak berani menolak intervensi ibunya karena Khaizuran bersekongkol dengan murabbi dan guru spiritual Harun al-Rasyid, Yahya al-Barmaki, yang diangkat menjadi menteri utama dalam khilafah karena jasanya melobi khalifah Musa al-Hadi untuk tidak memecat Harun al-Rasyid dari putra mahkota.

• Di masa awal pemerintahan Harun al-Rasyid, kedua orang itulah yang mengendalikan jalannya pemerintahan.

• Karena Yahya al-Barmaki berasal dari Persia, banyak pejabat yang ditunjuknya berasal dari etnis Barmak, Persia, termasuk kedua anaknya al-Fadhal dan Ja’far, hingga pengaruh Persia sangat dominan dalam pemerintahan.

• Kekuasaan Yahya al-Barmaki makin besar hingga Harun al-Rasyid tidak punya kewenangan politik dan keuangan negara. Sampai-sampai Harun al-Rasyid harus mengajukan anggaran tambahan kepada menteri utamanya karena tidak mencukupi untuk biaya hidupnya.

• Harun al-Rasyid baru menjadi khalifah yang sebenarnya setelah ibunya meninggal dunia. Ia kemudian memecat Yahya al-Barmaki dan memenjarakannya sampai meninggal di dalam penjara Raqqah, lalu mengganti semua pejabat yang diangkat oleh menterinya tersebut. Terjadi pembersihan orang-orang Barmak (Baramikah) secara besar-besaran bahkan harta kekayaan mereka disita negara hingga khilafah berjalan sesuai arah kebijakan Harun al-Rasyid.

• Sejak itulah masyarakat bisa merasakan kesalehan dan keadilan Harun al-Rasyid sebagai khalifah. Bahkan masa pemerintahan Harun al-Rasyid menjadi golden age dalam sejarah khilafah Abbasiyah. Barangkali karena masa awal pemerintahannya yang banyak diintervensi ibunya tersebut hingga para orientalis banyak menebar hoaks negatif tentang Harun al-Rasyid, di dalam buku-buku mereka. Padahal Harun al-Rasyid dikenal sebagai khalifah Abbasi yang saleh, adil dan mencintai ilmu.

• Penggal kisah ini sekedar contoh bagaimana intervensi dan dominasi seorang wanita bisa membuat seorang penguasa dan pemimpin tidak berdaya. Bisa jadi banyak “Khaizuran” di seputar para tokoh, pemimpin dan penguasa yang kisahnya tidak banyak diketahui orang.

• Mungkin kisah ini mengungkap makna lain dari ungkapan, “Di balik kesuksesan seorang laki-laki pasti ada seorang wanita”.

• Semoga menjadi pelajaran dan inspirasi juga bagi para “khalifah” dalam menyikapi dan menghadapi “Khaizuran” tercintanya.

• Nabi saw mengingatkan:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku meninggalkan suatu fitnah setelahku yang lebih dahsyat bagi kaum laki-laki melebihi fitnah wanita.”(Bukhari 4706)