Kemuliaan Bersama Al-Qur’an

Serial Ta’amulaat Imaniyah

Narasumber : KH. Iman Santoso, Lc, MEI

«خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ»

“Sebaik-baik kamu adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya”
(HR Bukhari )

Al-Qur’an memuliakan siapa saja orang yang beriman dan berinteraksi dengan Al-Qur’an. Allah Ta’ala memposisikan orang beriman yang ahli terhadap Al-Qur’an sebagai ahlullah (keluarga Allah). Salah satunya adalah Abdullah bin Mas’ud ra. Secara status sosial beliau adalah seorang budak, penggembala kambing dan miskin. Secara fisik, perawakannya kecil, kalau beliau berdiri maka seperti orang lain duduk, karena begitu pendeknya. Bahkan suatu hari Ibnu Mas’ud ra memanjat pohon, tiba-tiba angin kencang menggoyahkan ranting-ranting pohon itu. Ibnu Mas’ud ra yang ada di atas pohon itu tampak kecil sekali. Orang-orang mentertawakan ukuran betis yang sangat kecil dan badannya yang kurus. Maka Rasulullah saw bersabda, “ Apakah kalian mentertawakan kecilnya betis Ibnu Mas’ud ? Demi Allah yang jikwaku ditangan-Nya, sesungguhnya keduanya dalam timbangan Allah pada hari Kiamat lebih berat dari gunung Uhud (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).

Demikianlah Allah memuliakan Ibnu Mas’ud ra, karena beliau ahlul Qur’an bahkan merupakan rujukan pertama dalam qiroah setelah Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda,” Barangsiapa ingin membaca al-Qur’an seindah sebagaimana diturunkan, maka bacalah sebagaimana bacaan Ibnu Ummi Abdi (Ibnu Mas’ud)” (HR Ahmad).

Ibnu Mas’ud ra mendapat kemuliaan untuk membacakan Al-Qur’an dihadapan Rasulullah saw. Rasul saw bersabda,” Bacalah! Karena sesungguhnya aku ingin mendengar Al-Qur’an dibacakan orang lain. Lalu Ibnu Mas’ud Ra membaca dengan khusyu dan ketika sampai pada ayat, “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)” (QS An-Nisa 41).
Rasulullah saw bersabda,”Sekarang cukup”. Ibnu Mas’ud berkata, “ Aku memandang wajah Rasul saw dan kedua matanya menitikkan air mata (HR Bukhari Muslim).

Shibghoh (celupan) Islam dan Al-Qur’an, menjadikan Ibnu Mas’ud ra sebagai orang yang pemberani. Ketika turun surat Ar-Rahman, beliau menghafalkannya. Kemudian membacakannya secara terbuka dihadapan orang kafir Quraisy di depan Ka’bah. Maka mereka mengeroyoknya sampai pingsan. Ibnu Mas’ud ra, adalah orang yang pertama membacakan Al-Qur’an dihadapan orang-orang kafir Quraisy setelah Rasulullah saw. Begitu juga Ibnu Mas’ud ra mengikuti banyak peperangan dalam Islam termasuk perang Badar dll.

Allah memuliakan siapa saja terkait Al-Qur’an. Orang yang paling mulia, tentu saja Rasulullah saw yang menerima wahyu Al-Qur’an dan akhlaknya dinisbatkan langsung pada Al-Qur’an. Malaikat yang paling mulia adalah malaikat Jibril as yang membawa wahyu Al-Qur’an. Malam yang paling mulia adalah Lailatul Qodr (malam Kemuliaan) malam diturunkannya Al-Qur’an, dimana kualitas ibadah di malam tsb lebih baik dari 1000 bulan. Bulan yang paling mulia adalah bulan Romadhon, bulan diturunkannya Al-Qur’an, orang yang paling mulia adalah mereka yang belajar dan mengajar Al-Qur’an, dan umat yang paling mulia adalah umat Islam sebagai umat terbaik.

«مَثَلُ مَنْ أُعْطِيَ الْقُرْآنَ وَالْإِيمَانَ كَمَثَلِ أُتْرُجَّةٍ طَيِّبِ الطَّعْمِ، طَيِّبِ الرِّيحِ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يُعْطَ الْقُرْآنَ، وَلَمْ يُعْطَ الْإِيمَانَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ مُرَّةِ الطَّعْمِ، لَا رِيحَ لَهَا، وَمَثَلُ مَنْ أُعْطِيَ الْإِيمَانَ، وَلَمْ يُعْطَ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ طَيِّبَةِ الطَّعْمِ، وَلَا رِيحَ لَهَا، وَمَثَلُ مَنْ أُعْطِيَ الْقُرْآنَ وَلَمْ يُعْطَ الْإِيمَانَ، كَمَثَلِ الرَّيْحَانَةِ مُرَّةِ الطَّعْمِ، طَيِّبَةِ الرِّيحِ».

“Perumpamaan orang yang diberikan keimanan dan Al-Qur’an seperti Utrujjah, rasanya enak aromanya wangi, perumpamaan orang yang tidak diberi Al-Qur’an dan Iman seperti Hanzholah, rasanya pahit dan tidak ada baunya, perumpamaan orang yang diberi Iman dan tidak diberi Al-Qur’an seperti Kurma, rasanya manis tidak ada wanginya dan orang yang diberi Al-Qur’an dan tidak diberi Iman seperti Raihanah, rasanya pahit aromanya baik” (HR Ibnu Hibban ).