Jujurlah pada Diri Sendiri

Oleh: KH. Aunur Rafiq Saleh, Lc.

بَلِ  الْاِ نْسَا نُ  عَلٰى  نَفْسِهٖ  بَصِيْرَةٌ

“Bahkan manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri,” (QS. Al-Qiyamah: 14)

• Tidak ada gunanya pujian orang-orang yang memujimu, sekalipun mereka memujimu dengan sesuatu yang tidak ada pada dirimu. Sekalipun mereka menyanjungmu setinggi langit, tetapi kamu paling tahu tentang berbagai kekurangan dirimu.

• Tidak akan menjatuhkan dirimu celaan orang-orang yang mencelamu, sekalipun mereka mencela dirimu dengan sesuatu yang tidak ada pada dirimu dan membuat berbagai kebohongan tentang dirimu.

• Setinggi apapun derajat kesalehan seseorang pasti ada orang yang membencinya. Bahkan para nabi pun tidak semua orang mencintai mereka.

• Sedurhaka dan serendah apa pun seseorang pasti ada orang yang mencintai dan mendukungnya. Bahkan Fir’aun dan Namrud pun mendapat dukungan dan ada orang-orang yang mencintainya.

• Imam Malik pernah bertanya kepada muridnya, bagaimana komentar manusia tentang diriku? Muridnya menjawab, ‘Teman yang jujur memujimu sedangkan musuh mencelamu’. Imam Malik lantas berkata: Manusia selamanya akan seperti itu. Tetapi saya berlindung kepada Allah dari kesepakatan lisan semuanya!

• Imam Malik berlindung kepada Allah dari pujian dan sanjungan semua orang karena takut bangga diri. Juga takut jika semua orang mencelanya karena khawatir sebagian celaan itu benar adanya.

• Karena itu, jujurlah pada diri sendiri agar tidak bangga dengan pujian orang. Kejujuran pada diri ini akan menyadarkan ketidaklayakan diri mendapat semua pujian dan sanjungan, karena berbagai kekurangan yang melekat pada diri ini. Kesadaran dan kejujuran ini akan membuatnya selalu tawadhu’ atau rendah hati.

• Dalam memperjuangkan kebaikan dan kebenaran pun selalu ada orang yang membencinya. Jangan pernah kecil hati menghadapi celaan orang. Kuatkan diri ini dengan kejujuran kepada Allah dan diri sendiri dengan selalu berusaha bisa konsisten pada nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkan. Jadikan celaan manusia itu sebagai media untuk selalu bisa mawas diri dan terus memperbaiki diri. Karena itu, salah satu karakter utama para pejuang kebenaran adalah tidak takut celaan orang-orang yang suka mencela. Firman Allah:

يٰۤـاَيُّهَا  الَّذِيْنَ  اٰمَنُوْا  مَنْ  يَّرْتَدَّ  مِنْكُمْ  عَنْ  دِيْـنِهٖ  فَسَوْفَ  يَأْتِى  اللّٰهُ  بِقَوْمٍ  يُّحِبُّهُمْ  وَيُحِبُّوْنَهٗۤ   ۙ اَذِلَّةٍ  عَلَى  الْمُؤْمِنِيْنَ  اَعِزَّةٍ  عَلَى  الْكٰفِرِ يْنَ   ۖ يُجَاهِدُوْنَ  فِيْ  سَبِيْلِ  اللّٰهِ  وَلَا  يَخَا فُوْنَ  لَوْمَةَ  لَآئِمٍ   ۗ ذٰلِكَ  فَضْلُ  اللّٰهِ  يُؤْتِيْهِ  مَنْ  يَّشَآءُ   ۗ وَا للّٰهُ  وَا سِعٌ  عَلِيْمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ma’idah: 54).