Oleh: KH. Aunur Rafiq Saleh, Lc.
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا
“Barangsiapa yang mandi dengan rambutnya pada hari Jum’at dan mandi menyiram sekujur tubuhnya, lalu dia pergi untuk shalat Jum’at pada awal waktu dan sampai mendapatkan awal khutbah dengan berjalan kaki dan tidak berkendaraan, lalu duduk mendekat kepada imam untuk mendengarkan khutbah dan tidak berbicara, maka setiap langkahnya dicatat pahala puasa dan ibadah malam satu tahun.” (Sunan Abi Daud 292, syaikh al-Albani menilainya shahih)
• Diantara syarah hadis ini disebutkan bahwa arti “ghassala” di dalam hadis ini adalah melakukan “amaliyah” yang mewajibkan mandi besar. Yakni melakukan hubungan suami istri.
. “Bakkara” pergi ke masjid lebih awal. “Ibtakara” mendapatkan khutbah Jumat sejak awal.
• Sebagian orang salah memahami dan salah mempraktikkan hadis ini dengan mengamalkan sebagiannya saja yaitu melakukan “amaliyah” yang menyenangkan saja dan tidak mengamalkan ibadah berikutnya. Sehingga populer istilah melaksanakan “sunah malam Jumat”.
• Padahal untuk mendapatkan keutamaan yang disebutkan hadis ini yaitu setiap langkah menuju masjid di hari Jumat diberi pahala puasa dan ibadah malam setahun itu harus dilakukan satu paket alias dalam satu rangkaian.
• Diawali dengan melakukan hubungan suami istri kemudian mandi junub kemudian pergi ke masjid lebih awal dengan berjalan kaki tidak naik kendaraan, mendapati khutbah Jumat sejak awal, mendengarkan khutbah dengan khusyu’ dan tidak melakukan hal yang sia-sia.
• Tentang melakukan hubungan suami istri, sebagian ulama membolehkannya dilakukan di malam Jumat dan sebagian ulama memahaminya harus di hari Jumatnya. Semoga kedua pendapat ini benar sehingga memudahkan mereka yang ingin mendapatkan keutamaannya.