Oleh: KH. Iman Santoso, Lc, MEI
قال: فأخبرني عن الإحسان، قال: أن تعبد الله كأنك تراه، فإن لم تكن تراه فإنه يراك،
Malaikat Jibril berkata, “Kabarkan padaku tentang Ihsan ? Rasulullah Saw bersabda, ” Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya, maka Allah melihatmu” (HR Muslim)
Ihsan adalah maqam atau kedudukan tertinggi bagi umat Islam. Karena melakukan ibadah dengan kualitas tertinggi, seolah melihat Allah, atau minimal seorang merasa dan menyakini bahwa Allah melihatnya ketika beribadah, baik ibadah khusus kepada Allah, maupun ibadah terkait muamalah terhadap sesama manusia.
Disebutkan oleh Imam Al Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin 74/3 kisah yang menarik. Beliau berkata:
Berkata Sahal bin Abdullah At-Tusturi, ” Saat itu saya anak berusia tiga tahun, sholat malam dan saya melihat sholat pamanku, Muhammad bin Siwar, beliau berkata kepada ku suatu hari, “Tidakkah engkau mengingat Allah Yang Menciptakanmu ?” Saya berkata, “Bagaimana cara mengingat-Nya ?” Beliau berkata, “Katakan dengan hatimu ketika hendak tidur tiga kali tanpa menggerakkan lisanmu, Allahu Ma’i (Allah Bersamaku), Allahu Nazhirun ilayya (Allah Melihatku), Allah Syahidi (Allah Menyaksikanku )”
Maka aku katakan hal itu beberapa malam, kemudian aku beritahu beliau. Maka beliau berkata, katakan hal itu setiap malam tujuh kali. Saya lakukan itu, kemudian aku beri tahu beliau, lalu beliau berkata, katakan setiap 21 malam. Maka aku lakukan, maka masuk dalam hati kebahagiaan.
Ketika sudah satu tahun, pamanku berkata padaku, “Jagalah apa yang telah aku ajarkan, dan biasakan sampai engkau masuk dalam kubur, karena akan memberi manfaat bagimu di dunia dan akherat”. Dan aku senantiasa melakukannya bertahun-tahun. Maka aku merasakan kenikmatan dalam kesendirianku.
Kemudian paman ku berkata suatu hari, “Wahai Sahal siapa yang merasa Allah bersamanya, melihatnya dan menyaksikannya, apakah mungkin dia bermaksiat ? Janganlah bermaksiat”.
Sahal bin Abdullah At-Tusturi adalah salah seorang salafu shaleh yang sudah sampai pada maqam ihsan, walaupun masih kecil. Dan beliau sudah hafal Al-Qur’an semenjak kecil. Beliau bercerita, “Saya selalu berangkat ke Pesantren (Kuttab), saya belajar Al-Qur’an, dan telah hafal, saat itu umurku 6 atau 7 tahun, saya selalu puasa, dan makananku roti selama 12 tahun”.
Tarbiyah semacam ini sangat penting dilakukan pada anak-anak kita, bahkan kita semua, agar senantiasa merasa diawasi Allah, sehingga terbebas dari kejahatan dan kemaksiatan. Dan sampai ke maqam Ihsan. Wallahu a’lam bishawab.